JAKARTA—Tawaran PT Freeport Indonesia melalui divestasi saham lewat penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) mendapat penolakan DPR. Alasannya rencana itu tidak sesuai dengan tujuan divestasi itu sendiri. “Kami minta divestasi tetap seperti semula,” kata Ketua Komisi VII DPR, Kardaya Warnika dalam kerterangan pers di Gedung DPR didampingi para pimpinan kelompok fraksi, Selasa (27/10/2015). Hadir dalam jumpa pers itu, Daryatmo Mardianto (F-PDIP),Toni Wardoyo (F-PDIP), Harry Poernomo (F-Gerindra).
Menurut Kardaya, keputusan itu diambil berdasarkan kesepakatan seluruh fraksi pada komisi DPR yang membidangi masalah energi dan pertambangan itu. “Proses divestasi yang akan dilakukan lewat IPO tidak sesuai dengan tujuan divestasi sehingga tidak boleh dilakukan,” ujarnya menegaskan.
Kardaya menilai pelepasan saham Freeport Indonesia yang akan diambilalih pemerintah Indonesia itu seperti jebakan seolah Indonesia akan menyetujui perpanjangan kontrak karya (KK) perusahaan asal Amerika Serikat itu di Indonesia.
Kontrak karya tidak boleh diperpanjang, kata anggota Fraksi Partai Gerindra, karena berlawanan dengan UU No4/2009 tentang Minerba. Apalagi perpanjangan boleh dilakukan dengan status izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus. “Izin usaha pertambangan tidak mengenal istilah negosiasi. Kontrak Karya harus berakhir pada 2021,” papar dia lagi
Bahkan Kardaya mendesak Menteri ESDM Sudirman Said untuk mencabut surat persetujaun perpanjangan kontrak tersebut.
Kontrak pertambangan Freeport Indonesia sendiri akan berakhir pada 2021. Pada 2019 Freeport harus melepaskan sahamnya kepada pemerintah Indonesia sebesar 30% dan pada 2015 ditargetkan bisa melepaskan 10%. “Freeport hendak menjebak pemerintahan dengan melanggar konstitusi melalui perpanjangan kontrak karya sebelum batas waktu sesuai peraturan yang berlaku,” ujarnya.