Harapan Hampa LPI Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia

Thursday 29 Apr 2021, 5 : 37 pm
by
ilustrasi

Oleh: Anthony Budiawan


Lembaga Pengelola Investasi sering disebut juga Sovereign Wealth Fund (SWF).

Kedua istilah ini sebenarnya beda sama sekali. Untuk Indonesia memang lebih cocok disebut Lembaga Pengelolaan Investasi (LPI) dari pada Sovereign Wealth Fund.

Karena LPI memang didirikan untuk mengelola investasi dari investor, khususnya investor manca negara: investor asing.

Sedangkan SWF umumnya adalah dana yang berasal dari kekayaan pemerintah yang berasal dari surplus transaksi berjalan (cadangan devisa) atau surplus fiskal.

Artinya, SWF umumnya tidak memerlukan investor asing.

Bahkan SWF memberikan dananya kepada pengelola atau manajer investasi. Sedangkan LPI memerlukan investor, antara lain dari global SWF .

Tentu saja tidak mudah bagi LPI untuk menjadi pengelola investasi dana global. Karena umumnya dana global sudah mempunyai pengelola investasi sendiri.

Mereka bahkan sudah melakukan investasi ke seluruh dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang.

Model investasi investor global juga sangat bervariasi.

Pertama, investasi portfolio baik portfolio saham maupun obligasi melalui pasar modal, Kedua, investasi melalui penyertaan saham secara langsung di perusahaan dan ketiga investasi melalui pembiayaan proyek.

Investasi portfolio umumnya tidak memerlukan peran LPI. Para investor global sangat ahli dalam bidang tersebut, dan investasi kebanykan dilakukan melalui pasar modal dengan porsi terbesar di negara maju.

Sedangkan model investasi di negara berkembang biasanya melalui penyertaan saham secara langsung di berbagai perusahaan yang sudah ada, di mana pemilik lama, atau pendiri, ingin divestasi sebagian sahamnya, entah untuk pengembangan bisnis atau hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan (profit taking).

Contohnya antara lain Temasek, yaitu SWF Singapore yang melakukan investasi di sektor telekomunikasi dan perbankan Indonesia pada awal tahun 2000-an. Tetapi, penyertaan saham secara langsung seperti ini juga semakin jarang terjadi.

Investasi untuk pembiayaan proyek juga banyak tantangan, dan biasanya tidak dilakukan di perusahaan yang belum menjadi perusahaan publik.

Mungkin ada beberapa investor yang tertarik dengan proyek infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, dan pembangkit listrik, atau proyek perkebunan atau pertambangan mineral dan batubara (minerba).

LPI sepertinya hanya mempunyai peluang yang cukup baik di jenis proyek terakhir ini.

Tetapi, bukan berarti mudah menarik dana global untuk proyek di sektor infrastruktur ini, karena tantangan secara struktural cukup berat.

Proyek infrastruktur seperti jalan tol tidak terlalu menarik lagi karena opportunity yang tersisa adalah proyek-proyek yang kurang menguntungkan.

Bahkan beberapa perusahaan BUMN yang investasi di jalan tol dikabarkan banyak yang mengalami rugi besar.

Sedangkan investasi di sektor pembangkit listrik selama beberapa tahun belakangan ini dapat dikatakan berjalan di tempat.

Investor global juga tidak tertarik dengan proyek pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil.

Sedangkan untuk proyek pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan, pemerintah harus memberi subsidi tarif dalam jumlah cukup besar.

Dengan kondisi ruang gerak fiskal yang semakin sempit beberapa tahun belakangan ini, subsidi tarif listrik akan menjadi beban fiskal yang sangat berat di tahun-tahun mendatang.

Investor global akan benar-benar memperhatikan risiko ini. Karena tanpa subsidi tarif listrik dari pemerintah maka keuangan PLN tidak akan kuat menanggung kerugian.

Tantangan investasi di sektor sumber daya alam (SDA) juga sangat berat khususnya terkait isu lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Banyak investor global kini secara tegas melarang investasi mereka dialokasikan ke sektor usaha yang dianggap merusak lingkungan hidup.

Termasuk sektor pertambangan, khususnya tambang batubara dan turunannya seperti pembangkit listrik berbasis batubara, dan sektor perkebunan yang menggunakan hutan primer atau sekunder.

Sebagai contoh SWF terbesar dunia, yaitu Government Pensiun Fund Global yang disebut juga Oil Fund asal Norwegia, menarik dana investasi mereka di perusahaan tambang terkemuka dunia seperti Rio Tinto, Freeport McMoran, Zijing Mining Group pada periode 2005-2013.

Dan juga di berbagai perusahaan pembangkit listrik berbasis batubara di seluruh dunia, termasuk di negara maju antara lain Amerika serikat, Kanada, Australia, Jepang.

Penarikan investasi di Rio Tinto dan Freeport McMoran keduanya terkait proyek pertambangan di Indonesia yang dianggap merusak lingkungan.

Kemungkinan terakhir, LPI bisa diminta menawarkan saham-saham BUMN seperti di sektor infrastruktur, bandara, pelabuhan, dan lainnya yang sedang kesulitan keuangan.

Artinya, divestasi. Pertanyaannya, bagaimana menilai valuasi sahamnya? Apakah ada kompetitor lain sebagai penawar pesaing? Kalau hanya satu penawar, apakah tidak melanggar peraturan divestasi BUMN yang bisa merugikan keuangan negara? Pertanyaan ini semua harus dapat dijawab oleh LPI.

Karena sangat berbahaya kalau sampai terjadi kesalahan, mengingat penanggung jawab langsung LPI adalah presiden dengan dua menteri sebagai bagian dari lima dewan pengawas.

Pemerintah seharusnya tidak hanya mengandalkan LPI untuk pembangunan ekonomi. Pemerintah seharusnya berpikir bagaimana menata pembangunan industri dan ekonomi untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, bahkan bisa membuat surplus.

Jual beli proyek (divestasi) BUMN tidak membantu banyak dalam pembangunan ekonomi secara fundamental.

Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta

sumber: https://peps.co.id/487/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Kejagung Tetapkan Suami Sandra Dewi Tersangka TPPU

JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan suami Sandra Dewi, Harvey

Puan: Peran Relawan PMI Penting Bagi Kemanusiaan

JAKARTA-Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani,