Mayoritas Publik Dukung SBY Keluarkan PERPPU Pilkada

Friday 3 Oct 2014, 1 : 12 pm
by
Rully Akbar

Oleh: Rully Akbar

Hak politik masyarakat untuk memilih kepala daerahnya telah dicabut dengan keputusan Paripurna DPR RI tanggal 25 September 2014.

Seperti yang telah diprediksi survei LSI sebelumnya, RUU Pilkada oleh DPRD memunculkan resistensi yang besar oleh masyarakat.

Presiden SBY menjadi sasaran tembak. Presiden SBY dinilai sebagai aktor utama dibalik kemunduran demokrasi Indonesia.

SBY pun merespon. Melaui pernyataannya di youtube dan konferensi pers setelah kembali dari lawatan luar negeri, SBY tegaskan bahwa dirinya pun tak setuju dengan Pilkada oleh DPRD.

Sebagai presiden, SBY pun bergerak cepat mengupayakan celah-celah konstitusi  untuk tetap mengusahakan pilkada langsung seperti kehendak publik mayoritas.

Salah satu kewenangan presiden yang diakui dalam konstitusi adalah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Upaya Presiden SBY mengembalikan hak rakyat memilih kepala daerahnya dengan mengeluarkan Perppu direspon baik oleh publik.

Survei terbaru LSI menunjukan bahwa mayoritas publik mendukung langkah SBY mengeluarkan Perppu Pilkada langsung.

Mereka yang mendukung sangat mayoritas yaitu sebesar 75.2 % publik menyatakan setuju dengan rencana Presiden SBY. Hanya minoritas yaitu sebesar 19.4 % yang menyatakan tidak setuju. Dan sisanya hanya sebesar 5.4% yang tidak menyatakan pilihannya.

Demikian salah satu temuan terbaru survei LSI Denny JA. LSI Denny JA mengadakan survei merespon alternatif cara yang bisa dilakukan presiden untuk pilkada tetap secara langsung di lakukan oleh rakyat.

Survei ini dilakukan melalui quick poll, dengan handset yang bersistem, pada tanggal 29 September – 1 Oktober 2014.

Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1200 responden dan margin of error sebesar +/- 2,9 %.

Survei dilaksanakan di 33 propinsi di Indonesia.

Kami juga melengkapi survei dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD, dan in depth interview.

Mereka yang menyatakan setuju Presiden SBY harus mengeluarkan Perppu merata di semua segmen masyarakat.

Laki-laki  maupun perempuan, mereka yang tinggal di desa  maupun di kota, berpendidikan tinggi maupun rendah, wong cilik maupun masyarakat kelas menengah atas, mayoritas setuju Presiden SBY harus mengeluarkan Perppu. 

Mayoritas  pemilih partai koalisi Prawabowo-Hatta juga setuju dengan Perppu.

Rata-rata di semua segmen masyarakat yang setuju dengan SBY mengeluarkan Perppu berkisar antara 72 % sampai dengan 83 %.

Namun demikian, mereka yang tinggal di kota, berpendidikan tinggi, dan berstatus ekonomi menengah atas lebih tinggi persetujuannya dibanding dengan mereka yang tinggal di desa.

Tingginya persetujuan ini disebabkan karena umumnya masyarakat berharap hak konstitusional memilih pemimpin dapat pulih kembali melalui Perppu.

Segmen menengah kota lebih setuju lagi karena segmen  masyarakat ini lebih sensitif dengan hak-hak politik mereka.

Menyerahkan sepenuhnya proses pemilihan kepala kepada DPRD, membuat kepala daerah di seluruh Indonesia hanya ditentukan oleh 10 ketua umum partai politik di Jakarta.  Rakyat dibiarkan menjadi penonton saja.

Selain menyetujui pembuatan Perppu, mayoritas publik pun akan mengapresiasi langkah Presiden SBY sebagai cara untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia.

Sebanyak 75.6% masyarakat menyatakan dengan dikeluarkannya Perppu, SBY telah menyelamatkan demokrasi dan hak politik rakyat. 

Hanya minoritas yaitu 14.2 % yang menilai sinis dan sebaliknya bahwa langkah Presiden SBY mengeluarkan Perppu tidak demokratis.

Dari riset kualitatif LSI Denny JA yaitu dengan melakukan in-depth interview dan FGD terhadap kelompok  ahli, ada dua alasan mengapa Perppu perlu dibuat:

Pertama, RUU Pilkada via DPRD yang disahkan dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 25 September 2014, cacat prosedural. Berdasarkan Tata Tertib DPR RI, Bab XVII: Tata cara pengambilan keputusan Pasal 277 ayat 1; “keputusan sah apabila disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir”.

Dalam rapat paripurna persetujuan RUU Pilkada via DPRD kemarin, yang hadir 496 peserta: Sehingga minimal menang 248 peserta.

Kenyataannya RUU pilkada DPRD ini hanya disetujui oleh 226 anggota dewan.

Secara prosedural, yang setuju pilkada oleh DPRD kurang dari separuh yang hadir. Seharusnya, RUU ini tidak sah.

Walkout yang dilakukan Partai Demokrat, tidak mempengaruhi jumlah daftar yang hadir (Pasal 285 Tata Tertib DPR RI).

Kedua, RUU pilkada via DPRD cacat substansial karena hak rakyat memilih pemimpinnya sendiri (right to vote), yang sudah 9 tahun dialami di pilkada, dirampas oleh RUU itu.

Pilkada oleh DPRD memang tetap demokratis, tapi ia merampas the right to vote yang sudah ada.

Tingginya resistensi masyarakat terhadap RUU Pilkada DPRD menunjukan penolakan dicabutnya hak politik mereka.

Penolakan masyarakat ini juga terlihat dari temuan ilmiah LSI yang dirilis 8 September 2014 bahwa sebanyak 81.25 % setuju pilkada langsung.

Apakah Presiden SBY bisa mengeluarkan Perppu terkait RUU yang sudah di Paripurnakan ini? SBY sendiri sebagai presiden diberikan hak untuk membuat Perppu sesuai UUD 1945.  UUD 1945, pasal 22 ayat 1 menyatakan bahwa “ dalam hal ihwal kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Kegentingan memaksa adalah subyektivitas presiden.

Jika secara subyektif presiden beranggapan perlu dibuat Perppu, maka bisa Perppu itu dibuat, termasuk Perppu pilkada.

Jika melihat skala resistensi yang terus meningkat terhadap RUU Pilkada DPRD, maka presiden telah memiliki dasar rasionalisasi atas subyektifitas itu. Walau nanti subyektivitas presiden tersebut diuji oleh DPR masa sidang berikutnya.

LSI mengambil inisiatif menguji soal survei ini setelah tahu melalui korespondensi sms Denny JA dengan Presiden SBY, bahwa rekomendasi Denny JA agar SBY mengeluarkan perpu, disambut SBY dengan positif. (Korespondensi sms Denny JA dan sby juga dimuat berita online senin).

Dan kepastian penerbitan Perppu Pilkada telah disampaikan SBY usai melakukan pembekalan kepada anggota DPR RI terpilih dari Partai Demokrat.

Namun sekali lagi Perppu Pilkada Langsung SBY hanya sementara.

Perppu ini akan diuji pada sidang selanjutnya oleh DPR baru 2014-2019. Ini menjadi rawan ditolak DPR karena total kursi partai koalisi Jokowi dan kalau pun ditambah dengan Partai Demokrat masih kurang dari 50 persen.

Koalisi Jokowi dan demokrat (PDIP 109 kursi, PKB 47 kursi, Nasdem 36 kursi, Hanura 16 kursi, dan Demokrat 61 kursi) hanya 48.04%. Untuk menang, jokowi butuh dukungan satu partai lagi.

Saatnya Jokowi menunjuk operator politik yang handal agar tidak selalu dipermalukan dalam manuver politik dan voting di parlemen.

Operator politik harus juga diberikan kewenangan untuk melakukan “take and give” dan power sharing, yang normal dalam sistem demokrasi. Jika tidak, Jokowi memang menang di hati rakyat, tapi ironisnya kalah di politik elit.

Selain Jokowi, pertarungan dukungan di parlemen terhadap Perppu juga merupakan tanggung jawab SBY.

Secara serius, SBY harus memastikan bahwa subyektifitasnya menilai keadaan genting dan mengeluarkan Perppu Pilkada langsung akan berujung pada dukungan mayoritas di DPR.

Jika tidak, maka hal ini bisa melemahkan kredibilitasnya sebagai presiden.

Dan terlebih lagi publik akan menghukum kembali SBY karena dianggap tidak serius dan hanya memainkan sandiwara seakan-akan mendukung pilkada langsung.

Untuk kepentingan demokrasi Indonesia melalui pilkada langsung, LSI Denny JA memberi tiga (3) rekomendasi penting.

Pertama, Megawati saatnya membuka diri, berkerja sama  dengan SBY, dan Hatta Rajasa, atau ketum partai koalisi Prabowo-Hatta lainnya, agar menguasai mayoritas DPR 2014-2019.

Perppu itu nanti hanya bisa diubah menjadi UU jika didukung oleh mayoritas DPR.

Megawati harus mulai merangkul, aktif berkomunikasi, melupakan “luka” masa lalu demi kepentingan Indonesia yang lebih besar.

Kedua, harus ada koreksi atas strategi politik trio Jokowi-JK-Megawati.

Dalam kultur politik Indonesia, partai umumnya ingin ikut berkuasa. Namun dengan susahnya trio ini merangkul tambahan partai agar menjadi mayoritas di parlemen, pasti ada kesalahan strategi yang membuat trio ini justru terisolasi dalam politik parlemen.

Ketiga, sebelum membuat Perppu, presiden SBY disarankan meminta fatwa MK terlebih dahulu (jika dimungkinkan), bertanya apakah RUU pilkada via dprd bisa dibatalkan demi hukum, karena suara yang setuju kurang dari separuh yg hadir.

Ini tak sesuai dengan tatib DPR sendiri.

Penulis adalah Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Meski begitu, tidak semuanya bersifat negatif, karena pandemi yang telah berlangsung selama 18 bulan juga menjadi momentum percepatan digitalisasi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

Peran Aktif Swasta Dalam Ekonomi Digital Berkelanjutan

JAKARTA-Pandemi COVID-19 memberikan dampak luar biasa pada seluruh aspek kehidupan

Kemenperin Apresiasi Startup Lokal Ciptakan Aplikasi Permudah Administrasi

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sukses menggelar program Startup4Industry tahun 2020, yang