Memitigasi Dampak Pelambatan Ekonomi 2020

Monday 18 May 2020, 10 : 46 pm
by
Ketua Banggar DPR RI, MH Said Abdullah

Oleh: MH. Said Abdullah

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2020 (Januari-Maret) sebesar 2,97% (yoy) dan 2,41%(qtq). Pencapaian ini patut disyukuri, namun kita jangan lengah.

Pertumbuhan ini secara waktu memang belum menunjukkan dampak serius Covid-19 pada kehidupan ekonomi kita. Sebab pemerintah sendiri baru mengumumkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada akhir Maret 2020.

Artinya, aktivitas ekonomi warga baru berkurang signifikan setelah kebijakan tersebut.

Dampaknya akan terasa pada triwulan-triwulan berikutnya pada tahun 2020, terlebih bila aktivitas ekonomi masyarakat slowing down berlangsung lama, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan semakin serius.

Bila pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,02%, pada tahun 2020 beberapa internasional memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berbeda-beda.

April lalu, World Bank (WB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonsia pada kisaran -3,5% – 2,1%, ADB memperkirakan 2,5% dan Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan 1% dan Moodys memperkirakan 3%.

Dari beberapa negara di ASEAN, berbagai lembaga diatas hanya menempatkan Vietnam ekonominya masih tumbuh pada kisaran 4%. WB memperkirakan pertumbuhan Thailand -5 sampai -3%, Filipina -0,3% – 3%, Malaysia -4,6% sampai -0,1%.

Namun melihat angka kurva penderita Covid-19di Thailand dan Malaysia menunjukkan tren menurun, kemungkinan prediksi WB ini akan meleset. Saya memperkirakan kedua tetangga kita ini akan segera fight back untuk mendongkrak ekonomi mereka, tidak separah perkiraan WB.

Jika kita belajar dari Vietnam, keberhasilan mengatasi Covid-19 dengan segala effort-nya adalah kunci mengatasi ancaman resesie konominya. Berbeda dengan Vietnam, dua tetangga kita, Malaysia dan Thailand meskipun diawal melonjak naik pasien Covid-19, namun mereka sejauh ini berhasil melandaikan dan menurunkan kurvanya.

Momentum ini menjadi poin penting bagi pemulihan ekonomi kedua Negara tersebut, dan menjaganya agar tidak ada second wave.

Vivere Pericoloso

Tahun 2020 bisa kita sebut sebagai tahun vivere pericoloso, yakni tahun yang kehidupan segenap rakyat menyerempet bahaya. Kita menghadapi dua ancaman sekaligus, ancaman terhadap bahaya Covid-19 yang jenis virusnya bermutasi dengan cepat, dan sejauh ini dunia medis belum menemukan vaksinnya.

Ancaman lain berupa tekanan kehidupan social dan ekonomi rakyat sebagai konsekuensi berkurangnya kegiatan ekonomi. Sejauh ini kurva Covid-19 Indonesia masih merangkak naik, hingga 17 Mei 2020 pasien positif Covid-19 sebanyak 17.514, meninggal 1.148 dan sembuh 4.129.

Bappenas sendiri memprediksikan jumlah pengangguran selama tahun 2020 akan bertambah 4,22 juta. Namun saya memperkirakan jumlah ini akan lebih banyak bila kurva Covid-19 terus menanjak sebagai akibat pelonggaran PSBB dengan tidak disertai kedisiplinan pelaksanaan protocol cegah Covid-19.

Pemerintah harus memastikan protocol cegah Covid-19 berjalan maksimal meski kegiatan rakyat mulai dilonggarkan. Langkah moderat pemerintah ini memang bisa mengurangi beban ekonomi warga, terutama sektor informal yang selama ini hidup dari kehidupan ekonomi sektor formal.

Saya menduga, langkah berani pemerintah ini sebagai akibat dari tidak bisa diperkirakan berakhirnya pandemic ini di Indonesia, meskipun telah banyak pihak membuatperkiraan.

Saya memperkirakan, kelas menangah keatas akan tetap memilih jalanWork From Home (WFH), namun kelompok masyarakat bawah, terutama sector mikro dan informal akan memilih beraktivitas seperti biasa.

Pada sektor formal, pemerintah telah mewajibkan mereka yang usia 45 tahun kebawah telah diwajibkan berkantor kembali, termasuk para pegawai BUMN. Kebijakan ini juga diikuti oleh berbagai pusat perkantoran dan perbelanjaan.

Kehidupan ekonomi mungkin akan bergerak kembali meski belum optimal, namun tetap ada resiko besar peningkatan jumlah Covid-19 terutama kepada kelompok rentan.

Mitigasi Resiko

Meskipun aktivitas kehidupan rakyat mulai bergeliat kembali, bukan berarti berbagai program jaring pengaman sosial tidak penting.

Alokasi dana sebesar Rp 149,1 triliun dalam APBN 2020, antara lain, digunakan untuk: PKH, kartu sembako, kartu pra kerja, diskon tarif listrik, bansos untuk daerah Jabodetabek, bansos tunai untuk daerah diluar Jabodetabek tetap amat penting. Sebab selama Maret-Mei mereka menghadapi tekanan ekonomi yang berat.

Bila Juni dan seterusnya aktivitas ekonomi mulai bergeliat, maka tekanan terhadap perekonomian nasional pada triwulan II dan III tahun 2020 bisa dikurangi dan triwulan IV 2020 sebagai momentum titik balik.

Kita harus menjaga sektor informal tidak mengalami tekanan yang lebih serius. Sektor ini merupakan sektor paling penting dalam perekonomian nasional.

UMKM menyerap hingga 89,2% dari total tenaga kerja, menyediakan hingga 99 persen dari total lapangan kerja, menyumbang 60,34% dari total PDB nasional.

Selain itu, UMKM menyumbang 14,17% dari total ekspor dan 58,18% dari total investasi.

Upaya pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 23 tahun 2020 yang memberikan jaminan likuiditas perbankan untuk sektor UMKM patut kita dukung, dan terealisasi secepat mungkin, termasuk insentif pajak dan relaksasi kredit. Dengan menjaga sector ini, otomatis kita menjaga daya beli masyarakat.

Sehingga ekonomi kita tahun 2020 tetap bisa tumbuh positif pada kisaran 2-3 persen. Disisi lain protocol cegah Covid-19 bukanlah sesuatu yang bisa ditawar, sebab ini juga bagian integral dari kehidupan baru kita.

Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR RI yang Juga Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Noldus Pandin Serahkan NIB Kepada Penyandang Disabilitas Pegiat UKM

MAKASAR-Aktivis penyandang disabilitas Noldus Pandin menyerahkan Nomor Induk Berusaha (NIB)

Tangani Soal Perdata, BTN Gandeng Kejari

JAKARTA-Plt Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Oni