Dia menjelaskan, data inflasi Oktober 2022 yang lebih rendah dari ekspektasi dan memberikan sinyal bahwa inflasi di AS sudah melewati masa puncaknya diprediksi akan membuat nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama lainnya kembali melemah.
“Pelemahan tersebut tidak terlepas dari ekspektasi bahwa The Fed akan lebih lunak dalam menaikkan suku bunga acuan,” ujarnya.
Sementara itu, sentimen penopang lainnya dari sisi eksternal, yakni ekspektasi The Fed yang akan menurunkan keagresifannya dalam menaikkan suku bunga acuan.
“Pada pertemuan yang akan dilaksanakan oleh Bank Sentral Amerika pada pertengahan Desember nanti, The Fed diprediksi hanya akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen, setelah dalam empat pertemuan sebelumnya menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps secara berturut-turut,” tutur Mino.
Kalau melihat tren rupiah yang menguat, lanjut Mino, dolar AS yang melemah dan ada ekspektasi The Fed tidak agresif, maka kemungkinannya bisa berada di bawah konsensus.
“Konsensusnya masih tinggi. Kalau BI menaikkan suku bunga, biasanya tujuannya adalah mencegah pelemahan rupiah. Tetapi, sekarang rupiahnya berbalik,” katanya.
Terkait harga komoditas, terutama mineral logam, terang Mino, kondisi ini memiliki sinyal yang cukup baik.
Harga komoditas mineral logam, seperti nikel dan timah akan melanjutkan penguatan pekan sebelumnya, seiring dengan penurunan cadangan di LME.