JAKARTA-Keberadaan RUU Penjaminan diharapkan bisa mendorong UMKM bisa berkompetisi pada pasar global. Oleh karena itu secara filosofis sudah tepat RUU itu melindungi rakyat kecil dalam berusaha.
Namun RUU tersebut sebaiknya tidak terbatas pada pembiayaan untuk UMKM, tapi seharusnya juga untuk menejemen, pemasaran dan inovasi. “Jadi, kalau hanya sebatas pembiayaan maka hanya menyelesaikan satu masalah, sehingga ketika memasuki masyarakat ekonomi Asean (MEA), UMKM hanya akan menjadi korban,” kata pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Selasa (9/6/2015)
Dengan begitu, kata Ichsanuddin, maka rakyat kecil selama ini hanya menjadi kaos kaki kekuasaan, dan bukannya menjadi ruh dan jiwa penguasa dalam menyelenggarakan kekuasaannya. Sedangkan secara yuridis, RUU ini mengabaikan UU BI, UU OJK, UU Perlindungan Konsumen dan UU LPS (lembaga penjaminan simpanan).
Menurut Ichsanuddin, secara yuridis kejiwaan terdapat 107 juta jiwa yang terserap UMKM, sehingga UMKM mana yang benar-benar untuk usaha rakyat dan UMKM mana yang menyerahkan resiko kredit itu kepada lembaga penjaminan.
Selain RUU ini bukan RUU organik karena tidak diperintahkan oleh konstitusi, menurut Ichsanuddin, DPR juga salah dalam mempelajari asas akuntabilitas, karena setiap tindakan yang terpercaya dan terukur itu harus bisa dipertanggungjawabkan. “Jadi, RUU ini belum dalam kerangka ekonomi secara menyeluruh, maka jangan menjadikan UMKM sebagai korban. Jadikanlah UMKM itu seperti di Jepang dan Korea, yang diperhitungkan dalam perekonomian negara,” pungkasnya. *cea