Perbedaan Harga Dasar Satuan Barang dan Jasa Jadi Celah Mark Up

Wednesday 21 Oct 2015, 2 : 52 pm
by
Senator NTT, Adrianus Garu (tengah)

JAKARTA-Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Adrianus Garu menilai paket kebijakan ekonomi tahap IV yang disampaikan pemerintah, pekan lalu mampu menggerakan ekonomi yang masih lesu. Namun sayangnya, paket ekonomi ini memiliki kekurangan karena pemerintah tidak menetapkan harga dasar satuan barang dan jasa antara proyek yang dibiayai pusat (APBN) dan daerah (APBD). “Seharusnya harga dasar satuan bahan dan barang sama antara proyek pusat dan daerah. Ini penting supaya kualitas proyek yang dihasilkan sama,” kata Adrianus di Jakarta, Rabu (21/10).

Senator NTT ini menjelaskan, selama ini ada perbedaan yang cukup tinggi antara harga satuan dari dana APBD dengan dana APBN. Perbedaan harga satuan ini lalu dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk celah praktik manipulasi atau mark up. Akibatnya terjadi penyelewengan dana yang sangat besar. Padahal jika celah mark up itu bisa ditutup, anggaran yang ada bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur lainnya.

Anggota Komite IV DPD ini menuturkan, proyek yang berasal dari APBN harga satuannya sangat tinggi, sementara dari APBD rendah. Padahal, mutu bangunan dan tenaga kerja yang digunakan sama. “Tempat pengambilan material juga sama,” imbuhnya.

Dia memberi contoh dalam pembangunan saluran drainase atau pasangan batu. Harga dari dana APBD sekitar Rp 400.000 per meter kubik, sedangkan APBN mencapai Rp 1,5 juta per meter kubik. “Ini tidak adil buat pengusaha daerah. Mereka kan agen perubahan di daerah juga. Jangan hanya upah regional buruh yang diatur pemerintah. Harga dasar satuan juga harus punya standarnya,” tutur mantan anggota DPRD Kabupaten Manggarai ini.

Dia juga meminta agar standar harga untuk propinsi kepulauan harus berbeda dengan propinsi yang hanya terdiri atas daratan. Jika di Jawa yang seluruh wilayah adalah daratan, pengusaha bisa muat material per hari mencapai 8-10 kali untuk satu truk.

Sementara untuk propinsi kepulauan, paling tinggi hanya 4-5 kali per hari. Perbedaan itu terjadi karena topografi yang sulit dan luas untuk propinsi kepulauan daripada propinsi daratan. “Ini yang lupa dipikirkan pemerintah dalam paket kebijakan IV kemarin. Untuk peluncuran paket kebijakan berikutnya, pemerintah harus memasukan masalah-masalah ini,” tuturnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Batasan “Intip” Rekening Nasabah Diusulkan Naik Rp2 Miliar

JAKARTA-Wakil Ketua Komisi XI DPR Ahmad Hafisz Tohir mengingatkan pemerintah

Suku Bunga Penjaminan Simpanan Turun 50 Bps

JAKARTA-Rapat Dewan Komisioner (RDK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah melakukan