Refleksi Akhir Tahun: Perselingkuhan DPR dan Saudagar

Saturday 26 Dec 2015, 1 : 55 am
by
Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI), Benny Sabdo

JAKARTA-Politik dan hukum di republik ini sudah cenderung diperalat oleh kekuatan modal-materi (capital power).

Menurut Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI), Benny Sabdo, para pemangku kekuasaan telah masuk ke dalam perangkap itu, sekaligus mereka mengalami krisis luar biasa dalam aspek rasa kemanusiaan dan keadilan.

Karena itu, dia menegaskan fenomena perburuan rente di lembaga DPR harus diungkap secara tuntas dan diproses secara hukum. DPR dalam hal ini diwakili Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) justru melindungi kebobrokan politik. “Jadi semakin membuktikan, MKD itu kepanjangan mahkamah konco dewe,” kritik Benny.

Sidang MKD berakhir antiklimaks tanpa ada amar putusan, hanya membacakan surat pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Kini Setya Novanto menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar. Menurut Benny, diangkatnya Setya Novanto sebagai Ketua Fraksi justru semakin memperburuk citra DPR. “DPR semakin tidak etis dan semakin dipersepsikan sebagai lembaga paling korup,” tegasnya.

Benny merefleksikan skandal kasus “papa minta saham” sebagai sebuah pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat. Ia menyitir tesisnya Kenichi Omahe, elected officials kerap mengalami dilema, melayani konstituen mereka atau melayani aktor-aktor global. Karena ia dipilih oleh rakyat, semestinya ia mengabdi kepada kepentingan rakyat. Tapi ia juga berhadapan dengan aktor-aktor global, seperti pejabat International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), atau pun CEO dari perusahaan multinasional. “Mereka ini lebih sering memiliki tuntutan yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan tuntutan rakyat. Kalau anggota DPR berpihak kepada rakyat, ia akan mengecewakan aktor global. Demikian sebaliknya,” jelas Benny.

Menurut Benny, para wakil rakyat di DPR lebih memilih menjadi pelindung para saudagar global daripada pelindung warga negara. “DPR centeng yang didukung kapitalisme global berpotensi melemahkan, bahkan mematikan demokrasi,” ucap Benny.

Selain itu, kinerja legislasi DPR sangat minim. Pertama, pengabaian kinerja legislasi dan ketidakjelasan politik legislasi; Kedua, penentuan target prolegnas belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi; Ketiga, penentuan jumlah RUU, belum sepenuhnya menggunakan kriteria yang jelas dan tepat, dikaitkan dengan kebutuhan hukum yang ada.

Menimbang kinerja DPR pasca Reformasi yang lebih mementingkan korporasi global daripada kepentingan konstituen, menyebabkan sumber daya alam nasional terkuras habis dan rakyat harus menanggung hutang dari IMF, World Bank, dan Badan Internasional yang kredibel, serta hutang najis (odious debt) yang berasal dari hutang konglomerat hitam (hutang privat) yang dijadikan hutang publik. Karena itu, Benny mengusulkan agar dalam revisi Undang-Undang tentang Pemilu diwacanakan adanya utusan golongan.  “Utusan golongan ini terdiri dari akademikus, cendekiawan, dan tokoh masyarakat, bukan dari TNI & Polri seperti Orde Baru,” katanya.

Menurut Benny, kehadiran para akademikus dan tokoh masyarakat di DPR supaya dapat mencerahkan akal miring di DPR yang bercokol selama ini. Ia menegaskan jangan semua kursi di DPR “dijual” bebas seperti saat ini. “Akibatnya bisa gawat, jika diisi oleh para perampok,” gugatnya. Jadi harus ada jatah kursi bagi cendekiawan dan tokoh masyarakat. Sebab mereka tidak bisa bersaing merebut suara dengan para selebritas dalam pemilu. “Mereka akan dengan mudah dikalahkan oleh seorang Nikita Mirzani atau Ayu Ting-Ting dalam pemilu, meski berkualitas,” jelasnya.

Benny menegaskan, tidak salah memuat pasal yang mengatur tentang utusan golongan. Ia memaparkan Tokoh Orde Reformasi tidak memahami bahwa sistem pemerintahan campuran (mixed system) tanpa Trias Politika yang disusun oleh Pendiri Negara (the Founding Fathers and Mothers) berdasar asas demokrasi, tetapi berbeda dengan sistem presidensial Amerika Serikat yang menggunakan Trias Politika dan juga berbeda dengan sistem parlementer Inggris (Cabinet Government) yang tanpa Trias Politika.

Dia menandaskan Tokoh Orde Reformasi juga memiliki persepsi keliru mengenai sistem pemerintahan susunan Pendiri Negara. Para Pendiri Negara menghendaki sistem pemerintahan sendiri.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Produk Minyak Sawit Indonesia Perluas Pasar Ekspor Hingga New Zealand

JAKARTA-Produk-produk unggulan dalam negeri dipromosikan di Selandia Baru melalui program

Realisasi PNBP Subsektor EBTKE Tembus Rp 2.280 Miliar

JAKARTA- Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE)