JAKARTA-Sejumlah LSM mendesak perubahan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH) harus berpihak pada keberpihakan pada kepentingan nasional, tidak semata-mata menyelesaikan RUU luncuran (carry over). “Undang-undang sebelumnya belum berusia lima tahun, baru tiga-empat tahun. Tapi, sekarang sudah ada lagi RUU usul inisiatif DPR, ada penyesuaian-penyesuaian yang akan dimasukkan,” kata Ketua Umum Federasi Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), Don P Utoyo di di DPD RI, Jakarta, Kamis,( 27/11).
Perbaikan UU PKH dianggap penting, sambung Don, karena akan mengatur konsumsi pangan dalam menyehatkan dan mencerdaskan generasi penerus bangsa. Tapi RUU PKH harus tetap mempertahankan subtansi yang relevan dan mengakomodasi substansi yang baru sesuai situasi dan kondisi masa kini dan masa nanti.
Menurut Don, konsumsi pangan bergizi rata-rata masyarakat Indonesia masih rendah, padahal konsumsi pangan bergizi justru meningkatkan kesehatan dan kecerdasan generasi penerus bangsa atau masyarakat. “Kekurangan konsumsi pangan hewani bergizi bagi generasi penerus bangsa adalah ancaman lost generation,” ujarnya.
Indonesia memproduksi daging dan telur yang jumlahnya cukup, yakni 65-69% asupan protein hewani asal ternak (daging dan telur). Posisi yang harus dipertahankan, agar tidak tertinggal jauh dari asupan protein hewani asal sumber lain (susu dan daging). Sebagai catatan, konsumsi protein hewani asal ternak (daging, telur, susu) hanya 6,5 gram/kapita/tahun, sedangkan konsumsi protein hewani asal ikan 13,5 gram/kapita/tahun.