JAKARTA-Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinegoro meminta pemerintah agar serius membuat kebijakan yang tepat guna menyelamatkan nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk.
Pasalnya, bencana krisis ekonomi yang lebih besar dan merepotkan dibanding tahun 1998 jika dollar AS menjelang akhir 2014 menyentuh angka Rp 14.000 per dollar AS.
“Rupiah terpuruk karena fundamental ekonomi kita yang kropos dan ketergantungan impor yang lebih tinggi,” ujar Sasmito di Jakarta, Kamis (5/9).
Menurutnya, gejolak nilai tukar rupiah tidak boleh dianggap enteng.
Untuk itu, dia meminta rakyat Indonesia untuk mewaspadi dampak yang bakalan menimpa ekonomi Indonesia.
“Ekonomi Indonesia dalam situasi darurat (save our souls/SOS) karena dollar AS telah tembus di atas Rp 12 ribu,” jelas dia.
Kondisi ini kian memprihatikan mengingat cadangan devisa Indonesia tidak akan cukup untuk menjamin impor dalam jangka waktu 6 bulan yang akan datang.
Padahal saat ini kebutuhan pokok masyarakat seperti gula,beras,kedelai,jagung,susu ,buah-buahan,daging sebagian besar harus di impor.
Ini semua terjadi akibat kegagalan kementrian pertanian dan kementrian perdagangan.
“Tetapi anehnya, Presiden, Menteri BUMN, Sekretaris Kabinet masih muhibah ke lura negeri tanpa menghiraikan apa yang terjadi didalam negeri,” kritik dia.
“Jika dalam beberapa hari lagi dollar AS makin menguat terhadap rupiah dan 2-3 bulan yang akan datang Bank Indonesia (BI) melakukan “pembiaran” rupiah makin terpuruk, maka ekonomi Indonesia menuju ambang kehancuran,” tegas dia.
Untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia kata dia maka perlu ada terbososan dengan berani melakukan “revolusi keuangan negara”.
Langkah yang ditempuh adalah menghentikan pembayaran subsidi bunga obligasi rekapitalisasi ex BLBI sebesar Rp 60 trilyun per tahun yang ternyata bodong alias fiktif.
Dengan demikian, uang pajak rakyat harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daripada melanjutkan pembayaran subsidi bunga obligasi rekapitalisasi ini.
“Bank Swasta seperti BCA, pengemplang BLBI terbesar puluhan triliun yang disubsidi dengan bunga obligasi rekapitalisasi triliunan sampai dengan hari ini. Hal ini jelas tidak adil bagi rakyat karena pembayaran obligasi rekap ini “menghisap” uang pajak yang disetor rakyat Indonesia,” tegas dia.