Sejumlah Negara Akan Tinggalkan Zona Euro

Sunday 7 Oct 2012, 2 : 13 pm
by
Christine Lagarde

JAKARTA-Ketidakpastian penyelesaian krisis utang di Eropa diyakini akan memaksa satu atau beberapa negara untuk meninggalkan mata uang tunggal yang beranggotakan 17 negara.

Sejumlah kalangan menilai bahwa situasi ini bakal terjadi, mengingat beberapa negara tidak akan mampu untuk bersaing di tengah laju konsolidasi keuangan publik.

Bahkan Perdana Menteri Slovakia, Roberto Fico belum lama ini mengatakan, akan ada satu atau negara yang akan meninggalkan zona euro.

“Jika Yunani tidak mampu memenuhi kewajibannya, harus ada jalan keluar yang tetap terkontrol,” kata Fico seperti dilansir Markiza TV.

Hal ini kiranya cukup beralasan, apabila penyelesaian utang Yunani dilakukan tanpa adanya kontrol, maka situasi ini justru akan mengganggu pertumbuhan ekonomi beberapa negara di Eropa.

Beberapa pengamat menilai, Slovakia akan menjadi salah satu negara yang paling memungkinkan keluar dari zona euro, jika penyelesaian utang Yunani tidak terkendali.

Sebagaimana diketahui, Slovakia merupakan bekas negara berpenduduk 5,4 juta jiwa dan sebagai salah satu anggota termiskin di zona euro.

Sejauh ini, Slovakia menjadi satu-satunya anggota yang menolak untuk berpartisipasi dalam sebuah paket penyelamatan bagi Yunani pada awal 2010.

Slovakia merupakan negara zona euro terakhir yang meratifikasi European Financial Stability Facility (EFSF) sementara pada Oktober 2011.

Setelah bergabung dengan Uni Eropa pada 2004 dan zona euro pada 2009, Bratislava memberlakukan sejumlah kebijakan penghematan besar-besaran untuk menjaga anggarannya tetap di jalur yang benar selama krisis ekonomi.

Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick beberapa waktu lalu sempat memperingatkan bahwa saat ini Eropa tengah menghadapi risiko “Lehman Moment”.

Sehingga, keruntuhan mata uang euro sangat dimungkinkan dapat memicu terciptanya krisis global.

Eropa berisiko memicu krisis finansial yang dapat menimbulkan keputusasaan bagi negara-negara berkembang.

Kendati Eropa akan mampu mengatasinya krisis utang, tetapi risiko yang ditimbulkannya justru akan melebar.

“Kondisi seperti ketika kasus Lehman bisa terjadi jika tidak ditangani dengan benar,” kata Zoellick, seperti dikutip AFP.

Pada 2008, Lehman Brothers -salah satu perusahaan keuangan terkemuka di Wall Street, AS- kolaps setelah pertaruhannya di pasar perumahan AS memburuk, sehingga memicu kepanikan pasar keuangan global.

Terkait dengan berlarut-larutnya krisis Eropa, seluruh negara bekembang patut mempersiapkan diri untk menghadapi ketidakpastian yang akan muncul dari zona euro dan pasar finansial yang lebih luas.

Tentu akan lebih baik jika emerging markets bisa menghindari penumpukan surat utang jangka pendek.

Negara berkembang juga dituntut untuk memperhatikan fundamental perekenomiannya untuk pertumbuhan di masa mendatang, yakni infrastruktur dan modal manusia.

Saat ini, Bank Dunia pun telah mengambl langkah-langkah untuk mencegah kemandekan kredit di negara-negara di tenggara Eropa dan melindungi negara-negara Afrika yang terpapar krisis utang Eropa.

Bank Dunia juga berfokus untuk membantu perekonomian negara berkembang melindungi sektor-sektor yang paling rentan jika terjadi kekacauan keuangan global.

“Ketidakpastian di pasar kini mulai meningkatkan biaya-biaya di negara-negara berkembang, akibatnya hidup semua orang menjadi lebih berat,” kata Zoellick.

Adanya volatilitas perekonomian dunia pada akhirnya menimbulkan kebutuhan untuk membantu negara berkembang dalam membangun jaring pengaman sosial agar tidak menjebol anggaran.

Panjangnya rentang waktu berlangsungnya krisis pun dikhawatirkan akan menjadi awal yang mengarah pada tuntutan nasionalisme ekonomi.

Kondisi yang terjadi di Eropa tersebut, berbuntut pada bervariasinya kurs euro.

Sehingga, para investor berupaya mencari perlindungan pada safe haven.

Pasalnya, protes anti penghematan di Spanyol dan Yunani turut mengangkat kekhawatiran baru atas krisis utang zona euro.

Kepala strategi Citibank Jepang, Osamu Takashima mengatakan, pedagang tetap menghindari risiko setelah pasar obligasi Eropa memperlihatkan biaya pinjaman untuk negara lemah meningkat.

Sementara itu, pasar saham global telah mencapai puncak mereka.

Ketegangan atas langkah-langkah penghematan yang keras juga telah tumpah ke jalan-jalan di panyol dan Yunani.

Ribuan demonstran berunjuk rasa di dekat parlemen Spanyol selama dua hari berturut-turut.

Akhirnya, pasar pun kembali mengangkat kemungkinan pemberian dana talangan.
Krisis yang tidak kunjung di Eropa pun pada akhirnya menciptakan perlambatan ekonomi global.

Direktur Pelaksana International Moneter Fund (IMF), Christine Lagarde memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi global bisa lebih lambat dari yang diharapkan.

Dia mengatakan, IMF berharap perekonomian dunia bisa pulih secara bertahap, tetapi mungkin pada kecepatan yang lebih lambat dari perkiraan sebelumnya.

Lagarde menambahkan, ada dua faktor risiko utama bagi perekonomian global.

Salah satunya adalah, peliknya masalah kredit di Eropa. Yang lainnya adalah apa yang disebut dengan tebing fiskal di Amerika Serikat

Don't Miss

Penghentian sementara perdagangan saham TIRA terbatas pada upaya untuk melakukan cooling down

Pasca IPO di Awal 2020, Laba Bersih AMOR Turun Jadi Rp79,57 Miliar

JAKARTA-Pada Semester I-2020, PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR)

Hantaru 2016: Wujudkan Reforma Agraria dan Tata Ruang yang Berkeadilan

JAKARTA-Penyelenggaraan pertanahan di Indonesia memasuki babak baru sejak meleburnya tata