JAKARTA-Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyatakan proposal Jepang, AS, dan China tentang Osaka Track dalam isu digital ekonomi yang disampaikan pada 28 Juni 2019 di KTT G20 kemarin harus ditolak oleh Indonesia. Ketiga negara maju tersebut mendesak agar pembahasan perjanjian digital trade dilakukan dalam skema perjanjian plurilateral ketimbang multilateral.
Menurutnya, skema plurilateral akan merugikan kepentingan anggota negara berkembang dan LDCs di WTO.
“Desakan AS, Jepang, dan China untuk membahas perjanjian digital trade di WTO dengan skema plurilateral sama saja mengkhianati multilateralisme. Negara maju inginnya fast track dengan kepentingannya sendiri dalam memasukan pembahasan isu baru, tetapi meninggalkan apa yang menjadi isu penting dalam Agenda Doha untuk kepentingan negara berkembang dan LDCs,” tegas Rachmi.
Lebih lanjut Rachmi menjelaskan, bahwa sebagian besar negara berkembang, termasuk India, Afrika, dan Indonesia, secara konsisten menuntut agar negosiasi tentang perdagangan elektronik/digital harus dilakukan berdasarkan program kerja tahun 1998, yaitu dengan proses negosiasi multilateral berdasarkan pada pengambilan keputusan berdasarkan consensus.
“Isu perdagangan digital masih perlu dielaborasi secara seksama untung ruginya, khususnya bagi negara berkembang dan LDCs. Belum saatnya memulai perundingan, karena level playing fieldnya belum sama. Skema perundingan plurilateral memang sengaja didorong oleh negara maju untuk memaksa negara berkembang ikut serta dalam pembahasannya, sehingga negara maju akan dengan mudah melakukan trade-off dengan kepentingan negara berkembang,” terangnya.