JAKARTA-Kepala Badan Karantina Kementerian Pertanian Banun Harpini menegaskan pengawasan terhadap bio terorisme merupakan bagian dari sistem ketahanan dan keamanan negara terhadap sumber alam hayati. “Alasannya perang sekarang ini terkait pangan dan energi terbarukan. Dan posisi Indonesia sebagai negara terbesar kedua setelah Brasil,” katanya di Jakarta, Rabu (24/6/2015)
Karena itu ke depan, kata Banun, perlu memperkuat tujuan penyelenggaraan karantina. Karena sebagai pintu masuk terdepan bagi perlindungan keamanan pangan, baik dalam bentuk segar maupun olahan dan perlindungan sumber daya alam hayati.
Bahkan penyebaran hama itu sekarang sudah pada tahap DNA (darah). Pada 2011 Badan Karantina sudah melakukan panel dan menemukan 19 jenis penyakit hama yang belum ada di Indonesia, yang bisa merusak produksi pangan Indonesia. “Sebanyak 70 % hama itu ada dalam produk pangan impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Produk impor memang banjir seperti anggur, apel, jeruk, kini harus bebas dari lalat buah,” jelas Banun.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron, kelembagaan karantina ini perlu diperbaiki. “Urusan karantina tumbuhan dan hewan tidak lagi diurus oleh Badan Karantina Pertanian Kementan RI, dan urusan perikanan oleh Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan,” tambahnya.
Khusus untuk menghadap masyarakat ekonomi ASEAN (MEA), maka negara harus memberikan perlindungan secara non teknis untuk melindungi negara sendiri.
Sebab, lanjut anggota Fraksi Partai Demokrat, saat ini ada semacam bio terorisme yang bisa merusak tanaman pangan dan binantang. Misalnya sapi, yang seharusnya bisa melahirkan sampai lima kali malah kini menjadi dua kali, dan hama tanaman lain yang terus berkembang biak di tanah air.
“Ada yang bisa menurunkan produksi ternak, tumbuh-tumbuhan, makanan dan menyebarkan berbagai jenis penyakit,” pungkasnya. **cea