Dalam RUU JPSK, Presiden Penanggungjawab Krisis Keuangan

Tuesday 16 Feb 2016, 2 : 54 pm
ilustrasi uang beredar/dok kompasiana.com

JAKARTA-Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menegaskan beberapa poin penting dalam pembahasan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sudah menemui kesepakatan. Salah satunya siapa penanggungjawab masalah krisis keuangan dan perbankan. “Presidenlah sebagai pemegang keputusan penting. Dia yang berhak menentukan negara dalam kondisi darurat atau tidak,” katanya di Jakarta, Selasa (16/2/2016).

Menurut Heri, masalah penunjukkan presiden sebagai pemegang keputusan penting atas krisis keuangan dan perbankan dinilai sangat penting. “Dalam kondisi tidak normal dan darurat atau apapun namanya, presidenlah yang harus mengambil keputusan,” jelasnya.

Heri menambahkan presiden akan mengambil keputusan penting itu atas rekomendasi tertulis dari badan ad-hoc keuangan. Situasi berbahaya seperti ini akan diatur secara jelas dalam undang-undang. “Presiden menjadi penentu, apakah sebuah bank bisa dinyatakan gagal dan berdampak sistemik,” tambahnya.

Beberapa masalah krusial lainnya yang cukup alot, antara lain, pertama, soal penamaan JPSK pada RUU ini. Istilah “jaring pengaman” ini tidak jelas. Kelak penamaannya akan diperjelas sesuai dengan lingkup kerjanya. Penamaan atas RUU ini akan dirumuskan setelah pembahasan materi rampung.

Kedua, menyangkut eksistensi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Institusi yang beranggotakan Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS ini disepakati sebagai badan ad-hoc yang dibentuk saat terjadi krisis perbankan.

Untuk itulah, RUU ini dirancang untuk menghadapi masa krisis. Bila tidak ada krisis, UU JPSK tidak berlaku. “Yang berlaku tetap UU yang mengatur masing-masing lembaga keuangan tersebut,” ucap anggota Fraksi Partai Gerindra.

Hanya saja, lanjut Heri, dari keempat lembaga keuangan ini, tiga di antaranya memiliki hak berpendapat dan hak suara dalam setiap rapat di badan ad-hoc keuangan nanti. Ketiganya adalah Kemenkeu, BI, dan OJK.

Sementara LPS hanya diberi hak berpendapat. “LPS, kan, hanya pelaksana sehari-hari untuk menjamin simpanan bank. Berarti kita berharap, LPS sebagai badan bentukan pemerintah hanya punya hak berpendapat, tidak memiliki hak suara,” jelas Heri.

Ketiga, isu makroprudensial. Tak jelas betul apa makna di balik istilah ini. Makroprudensial selama ini dipegang oleh otoritas BI. Sedang mikroprudensial jadi wilayah kerja OJK. Ditegaskan Heri, masalah makro sudah pasti mencakup masalah mikro. Topik ini jadi perdebatan sengit. Ketika BI dan OJK diundang untuk menjelaskan perannya dalam masalah ini, sangat kentara ego sektoral masing-masing.

BI sendiri penjelasan bahwa makroprudensial adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Karena Komisi XI memandang masalah ini tak jelas, akhirnya disepakati persoalan menyangkut makro dan mikroprudensial dihapus dari materi RUU. **aec

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PMN Mestinya Hanya Untuk BUMN Sehat

JAKARTA-Kalangan DPR mengingatkan BUMN penerima pernyertaan modal negara (PMN) tak
Kunjungan kerja Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ke Jepang membuahkan hasil konkret bagi industri otomotif tanah air. Dalam pertemuan dengan CEO Mitsubishi Motors Corporation (MMC) Takao Kato, di Tokyo Jepang, Selasa (26/07/2022)/Sumber Foto: ekon.go.id

Investasi Jepang Harus Bisa Tingkatkan Perekonomian Rakyat

JAKARTA- Jepang berkomitmen menanam investasi di Indonesia senilai Rp75,4 triliun