Perppu Tidak Ada Urgensinya

Wednesday 2 Oct 2019, 9 : 38 pm
by
perpu
Edi Danggur, S.H., M.M., M.H

Uji Materi ke MK Sebagai Cara Konstitusional

Unjuk rasa sebagai wujud kebebasan berekspresi memang diakui sebagai hak konstitusional, karena hak itu dijamin dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Hak mengeluarkan pendapat itu diatur lebih detail dalam Pasal 14 TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tanggal 13 November 1998, Pasal 25 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan ada undang-undang khusus yaitu UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Kebebasan berekspresi itu pun merupakan hak universal karena hak itu dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Pasal 19 DUHAM yang menegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah”.

Demikian pula dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR menetapkan: “Hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat”.

Penulis juga mengkritisi pemahaman mahasiswa saat berdebat dengan Menteri Hukum dan HAM di acara ILC TV One Selasa (24 September 2019).

Dikatakan seorang wakil mahasiswa: “Apakah mungkin mahasiswa yang jumlahnya begitu banyak turun ke jalan berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi itu tidak benar? Atau justru pemerintah yang tidak benar?” Tentu saja itu pemahaman yang salah karena mahasiswa mengukur kebenaran itu dari banyaknya jumlah mahasiswa yang turun ke jalan.

Leibniz, seorang filsuf yang muncul di zaman modern mengatakan: “barangsiapa mencari kebenaran, janganlah menghitung suara”.

Pernyataannya ini memiliki makna yang mendalam. Baginya kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran tidak bisa dikompromikan berdasarkan kepentingan, tidak bisa dikalahkan berdasarkan mekanisme voting dan kebenaran juga tidak bisa dikonversikan demi keuntungan (Pius Pandor, 2014:35).

Dalam konteks penolakan UU KPK hasil revisi, janganlah mengukur kebenaran dari banyaknya mahasiswa yang berunjukrasa, tetapi kebenaran harus diukur dari kesesuaian antara apa yang kita pikirkan atau katakan dengan kenyataan atau apa yang sungguh-sungguh terjadi. Bukan yang banyak otomatis benar, sebaliknya yang sedikit jumlahnya pasti salah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Penyusunan RAPBN Terganggung Akibat Data e-KTP Tak Akurat

JAKARTA-Data kependudukan melalui e-KTP harusnya sudah digunakan dalam penyusunan postur

Penataan GBK, Basuki Desak BUMN/BUMD Kerja Lebih Cepat

JAKARTA-Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meninjau