Ahli: Kewenangan Menetapkan Pajak Hanya Milik Presiden dan DPR

Thursday 23 Oct 2014, 8 : 54 pm
by

JAKARTA-Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan pada sistem pemerintahan presidensial, presiden yang dipilih langsung oleh rakyat bertanggung jawab pada rakyat dalam hal menetapkan pajak dan pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Kewenangan menetapkan pajak dan pungutan PNBP, sepantasnya hanya ada presiden dan DPR melalui undang-undang atau melalui peraturan pemerintah. “Penyerahan kewenangan menetapkan jenis kegiatan hanya dengan peraturan menteri berdasarkan delegasi yang diberikan oleh undang-undang adalah menyalahkani sistem bernegara menurut Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, seperti dikutip dari laman mahkamahkonstitusi.go.id di Jakarta, Kamis (23/10).

Dia melanjutkan, tugas menteri adalah membantu presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden sehingga hanya bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR apalagi bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Oleh karena itu, dalam hal menetapkan pajak dan PNBP seharusnya ada di tingkat undang-undang atau paling rendah di tingkat peraturan pemerintah. “Peraturan Menteri Keuangan memberikan pendelegasian kepada Dirjen Pajak untuk membuat peraturan menetapkan pengenaan pajak dan besarannya kepada jenis-jenis kegiatan tertentu dalam masyarakat. Padahal, Dirjen Pajak itu tidak lebih daripada seorang birokrat yang tidak sepantasnya diberi kewenangan lebih besar dalam membebani rakyat dalam sebuah negara hukum pihak demokratis,” imbuh Yusril yang merupakan ahli Pemohon.

Lebih lanjut, kewenangan Menteri Keuangan untuk menafsirkan frasa “jenis jasa lain” yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) undang-undang tersebut yang dituangkan dalam bentuk peraturan menteri, berakibat pada muatan materi pengaturan dalam peraturan menteri adalah sama dengan materi pengaturan yang diatur di dalam undang-undang. Padahal, ada hierarki peraturan perundang-undangan yang seharusnya menunjukkan materi pengaturan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Secara hierarki, menurut norma Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, kedudukan peraturan pemerintah lebih rendah dibandingkan dengan undang-undang. Sedangkan peraturan menteri lebih rendah dari peraturan pemerintah.        “Posisi peraturan menteri lebih rendah daripada peraturan pemerintah, maka bagaimanakah sebuah Undang-Undang akan memberikan pendelegasian kepada menteri untuk membuat peraturan yang materi muatannya setara dengan materi muatan yang diatur dalam norma undang-undang?” tandasnya.

Menjaga Komprehensifitas

Sementara Pakar Hukum Pajak Gunadi mengatakan bahwa metode dan teknik berbisnis amat dinamis dan berkembang. Tidak mudah menyebut semua jenis jasa satu persatu dan mencantumkannya dalam Pasal 23 UU PPh. “Dalam rangka menjaga komprehensifitas dengan rumusan sederhana tapi fleksibel, dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan dipakai istilah jasa lain,” ujarnya sebagai ahli Pemerintah.

Untuk menjaga fleksibilitas jumlah jenis jasa yang dapat diubah sewaktu-waktu sesuai perkembangan ekonomi dan bisnis, pengaturannya diserahkan kepada Peraturan Menteri Keuangan. Selain itu, jika frasa jasa lain dihapus, maka akan membatasi objek pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa menjadi terbatas hanya pada empat jenis jasa, yaitu jasa teknik, manajemen, konstitusi, dan jasa konsultan. Hal tersebut dinilainya justru bertentangan dengan komprehensifitas konsep objek pajak Pasal 41 UU PPh dan mempersempit cakupan objek without tax sebagai sarana pemungutan pajak paling handal dan efektif diterapkan di masyarakat yang umumnya kurang patuh hukum pajak.

Lebih lanjut, UU PPh menyatakan bahwa salah satu prinsip UU Perpajakan adalah tidak pekanya perlakuan yang sama terhadap semua hasil pajak atau kasus-kasus perpajakan yang hakikatnya sama. Berdasarkan prinsip non-diskriminasi tersebut, semua pengusaha sejenis dengan kondisi yang sama dikenakan pajak secara adil dan pasti, meliputi kepastian jumlah hutang pajak dan beban atau pengaruh pajak atas suatu transaksi.

“Selama terdapat objeknya, sudah pasti dan jelas besarannya yang akan dipungut dan harus dibayar merata oleh semua perusahaan bidang usaha transshipment dan jelas berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.

Sebelumnya, perusahaan pelayaran PT Cotrans Asia menguji Pasal 23 ayat (2) UU PPh yang dinilai memberikan ketidakpastian hukum. Diwakili kuasa hukumnya Denny Kalimalang, Pemohon menilai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, memakai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut termasuk pemotongan pajak penghasilan. Hal tersebut, imbuh Pemohon, tidak dapat dilakukan lantaran jenis jasa Pemohon masuk dalam lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.

Lebih lanjut, Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan. Apalagi, sebelum direvisi, pasal yang sama tidak pernah memberikan kewenangan kepada siapapun untuk menentukan pungutan pajak atas penghasilan ‘jasa lain’ , tetapi hanya menentukan siapa pihak pemotong pajak.

Adapun Pasal 23 ayat (2)UU PPh berbunyi:

“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”

Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut inkonstitusional sepajang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Jokowi: Holdingisasi Agar BUMN Berkelas Dunia

JAKARTA-Presiden Joko Widodo menegaskan pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara

Pertamina Dikawinkan dengan BUMD Seluruh Indonesia

JAKARTA-Dicopotnya dua pimpinan puncak Pertamina dari kedudukannya menegaskan kembali bahwa