Dikritik DPD, Pemilu Serentak Hempaskan Empat Guru Besar

Wednesday 26 Jun 2019, 4 : 40 pm

JAKARTA-Pemilu serentak 2019 yang banyak dikritik sejumlah pihak, karena mengandung beberapa kelemahan, ternyata juga memunculkan keunggulan. Salah satunya keterwakilan perempuan dalam parlemen 2019 meningkat signifikan.

“Pemilu 2014, keterwakilan perempuan hanya sekitar 17%, namun kali ini mencapai 20,5 %. Yang paling signifikan itu dari Nasdem hingga mencapai 32%,” kata anggota DPR RI Hetifaf Sjaifudian dalam diskusi “Evaluasi Pemilu Serentak, Bisakah Pileg dan Pilpres Dipisah Lagi?” bersama anggota DPD RI asal Maluku John Peeris dan Pengamat Politik LIPI, Siti Zuhro di Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Menurut Hetifah, naiknya keterpilihan perempuan ini menjawab keraguan publik bahwa Pemilu Legislatif tidak semenarik Pilpres. “Memang tadi Pak Jhon Pieris sempat khawatir dan menyebut partisipasi publik terhadap Pilleg, terutama DPD RI tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat. Pemilih setelah mencoblos Pilpres, lalu pulang dan tak mencoblos Pilleg,” tambahnya.

Namun Wakil Ketua Komisi X DPR ini sepakat Pemilu serentak 2019 perlu dievaluasi, terutama soal substansi dan prosedur. “Ada usulan untuk perbaikan sistem politik, terutama menghilangkan kampanye hitam,” tuturnya.

Sementara itu, Senator John Pieris secara tegas meminta agar Pemilu serentak tidak lagi dilakukan untuk 2024. Karena itu, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif harus dipisah.”Selain biayanya lebih mahal, Pemilu serentak memakan ratusan korban anggota KPPS,” terangnya.

Apalagi, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), yang menikmati Pemilu serentak itu hanya dari kalangan dinastik politik. Sudah tentu sangat miris hasilnya. “Yang memprihatinkan dari Pemilu serentak itu, munculnya politik identitas yang sangat kental. Karena itu, saya minta ditinjau ulang dan dipisah pelaksanaannya,” paparnya

Diakui John, Pemilu serentak berdampak negatif terhadap Pemilihan anggota DPD RI. Karena tidak ada debat caleg sama sekali. Sehingga pemilih membeli kucing dalam karung. “Sebagai contoh, empat guru besar dan lima doktor dari DPD itu tumbang. Karena mereka tidak punya uang,” ungkapnya.

Beberapa guru besar yang dimaksud dari DPD RI, Prof Darmayanti Lubis, Prof Dr Farouk Muhammad, Prof Dr Dailami Firdaus dan Prof Dr John Pieris.

Lebih jauh John menceritakan pengalama Pemilu serentak 2019, dimana politik uang sangat terlihat jelas di masyarakat, sehingga para pemodal masuk parlemen. “Kita tidak mungkin memainkan budaya politik seperti itu dengan membeli suara dan sebagainya. Saya ditawarkan oleh 3 orang, Bapak Jhon ada dana Rp100 juta tidak, ini kita kasih 10.000 suara. Saya tolak semua itu. Kalau pun saya ada uang, saya juga tidak mau,” imbuhnya. ***

Pengamat politik LIPI, Siti Zuhro juga sepakat Pemilu serentak 2019 harus dihentikan. Karena itu perlu ada evaluasi total dan ke depan, Pilpres dan Pileg harus dipisahkan. “Kita menawarkan grand design Pemilu yang sederhana dan membumi untuk masyarakat nusantara,” ujarnya.

Salah satu usulkan konkretnya, kata Wiwik-panggilan akrabnya, mendahulukan Pilpres ketimbang Pilleg. Karena kalau Pilleg didahulukan, setelah Pilpres tentu akan cenderung menjadi Parlementer. “Hasilnya akan ketahuan, sehingga parpol cenderung jadi opportunis,” pungkasnya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Pakar: Waspadai Kelompok Teroris Yang Anti Calon Kapolri

JAKARTA-Pakar Intelijen dan terorisme Ridlwan Habib menyebutkan pemerintah perlu mewaspadai

BI: Utang Luar Negeri Indonesia Tetap Terkendali pada Triwulan IV 2023

JAKARTA-Bank Indonesia (BI) mengumumkan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada