Hingga kini, total dana BLBI yang mencapai Rp 640 triliun belum bisa dipertanggung-jawabkan baik oleh bank penerima maupun pejabat negara terkait.
Pemerintah belum bisa jugamenagih para obligor pengemplang BLBI.
Ironisnya, anggaran negara yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, justru untuk membayar bunga hutang para obligor BLBI.
Bahkan bank-bank yang mendapat subsidi bunga obligasi rekap pasca era krisis 1998 memiliki hak tagih kepada pemerintah pada waktu jatuh tempo obligasi rekap, sehingga setiap tahun obligor BLBI berhak mendapat bunga obligasi rekap sebesar Rp 60 triliun.
“Penerimaan APBN hingga kini sebagian besar didominasi oleh pajak. Rakyat miskin pun mau tak mau dipaksa memberikan subsidi kepada para bankir penerima BLBI. Saya kira, stop pembayaran subsidi bunga obligasi rekap ini solusi bijak yang sebaiknya ditempuh pemerintah,” tuturnya.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadinagoro mengatakan dengan mengalokasikan APBN untuk mensubsidi para obligor, pemerintah seakan membuat negara ikut menanggung utang para obligor.
Padahal, kewajiban obligor bukan merupakan utang negara. Sangat tidak tepat pemerintah tetap memberi subsidi, sedangkan pembayaran utang di-reschedule sampai 2033.
“Jadi bisa dibayangkan nasib bangsa ini nanti saat tahun 2040, masihkah ada lagi kepedulian kita terhadap NKRI tercinta, karena Indonesia yang begitu besar, 25 tahun lagi tidak terpecah belah itu sudah luar biasa,” tuturnya.