Kembalilah ke Demokrasi Keindonesiaan Sebelum Terlambat

Wednesday 20 Nov 2019, 3 : 21 pm
by
Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia

Realitas lain menunjukkan, sejak dan hingga kini negeri ini menerapkan pemilihan langsung, sudah ratusan kepala daerah, juga ratusan pula legislator dan beberapa menteri, kita “kirim” ke KPK karena dugaan tindak pidana korupsi. Tidak sedikit pula di antara mereka sudah mempunyai hukum tetap dan sebagian sedang “diinapkan” di balik jeraji besi. Mengapa? Boleh jadi karena pengeluaran dalam suatu Pilkada, misalnya, bisa menelan puluhan hingga ratusan miliyar rupiah.

Rasionalnya, dengan perhitungan yang sangat longgar saja, pendapatan dalam setahun sebagai kepala daerah paling tinggi 1 miliyar. Jadi, akumulasi lima tahun hanya 5 miliyar. “Defisit” biaya yang dialami seorang kandidat yang sudah duduk di jabatan eksekutif dan legislatif mendorongya melakukan korupsi APBD, dan atau melacurkan kewenangannya dengan berbagai upaya, sperti menerbitkan berbagai Perda yang bisa mempersulit pelayanan publik, misalnya, perijinan. Pada proses tranksaksional seperti ini muncul konsep birokratif koruptif yaitu, “diupayakan”, yang bermakna konotatif menguntungkan secara finasial para pihak yang berada dan berelasi dengan pusat kekuasaan.

Karena itu, menurut saya, negeri ini tidak boleh “berpangku tangan” apalagi “bertepuk tangan” melihat realitas politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Misalnya, ratusan pejabat publik di legislatif maupun eksekutif sudah dipenjara. Oleh sebab itu, bangsa ini harus instrospeksi dan merenung mendalam, apa yang salah dengan sistem politik, utamanya kepemiluan kita secara keseluruhan di era reformasi ini.

Yang pasti ada “benang kusut” yang harus kita urai, tanpa memutus-mutus “benang” itu sendiri, sebagai pekerjaan rumah bagi negeri ini yang harus secepatnya kita tuntaskan. Jika tidak, akan bisa menimbulkan lingkaran setan permasalahan politik secara terus menerus di tanah air.

Saya termasuk tidak begitu gembira melihat sebagian para pemimpin di negeri ini masuk penjara. Lebih baik, mari kita tata demokrasi ke-Indonesia-an dengan kembali ke Ideologi Pancasila, utamanya sila ke-empat dan alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945. Intinya, sistem politik kita sejatinya melakukan demokrasi permusyawaratan rakyat dengan perwakilan di semua tingkatan proses politik. Bukan dengan demokrasi langsung atau voting-votingan ala liberal, si kuat di semua sektor mengalahkan si lemah di berbagai bidang sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Kondisi Global Memengaruhi Neraca Perdagangan November 2018

JAKARTA-Bank Indonesia (BI) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada November 2018
Pajak

Percepatan Pengalihan ASABRI dan TASPEN ke BPJS

Apalagi, BUMN mungkin sudah memiliki blue print dalam pengembangan BUMN,