Untuk itu, wacana memunculkan kembali adanya Ketetapan MPR-RI (Tap MPR-RI) dan amandemen terbatas UUD 1945, bisa menjadi pintu masuk agar benar-benar negeri ini mewujudkan demokrasi musyawarah-mufakat untuk kebersamaan, ala ke-Indonesia-an. Sebab, bangunan demokrasi ke-Indonesia-an ini memastikan bahwa hak-hak setiap individu dan kelompok minoritas dari aspek jumlah, tetap terakomodasi dan terutama terlindungi. Dengan demikian, di negeri ini tumbuh subur inklusivitas dalam relasi antar sesama anak bangsa. Otomatis ekslusivitas terkikis habis dengan sendirinya, sehingga tidak ada ruang bagi aktor politik yang membawa politik identitas sempit itu. Mari kita kembali ke demokrasi ke-Indonesiaan-an sebelum terlambat.
Sesungguhnya, demokrasi musyawarah ala Indonesia sudah sejak dulu dipraktekkan dalam kehidupan keseharian di semua bidang kehidupan sosial di tanah air. Bahkan terapan demokrasi musyawarah ini sudah terjadi pada semua tingkakan sosial, mulai dari kelompok sosial terkecil (keluarga) hingga organisasi tertinggi (MPR-RI). Baru-baru ini MPR-RI kita berhasil melakukan musyawarah dalam menentukan pimpinan.
Karena itu, dalam semua bidang kehidupan sosial, utamanya proses politik, sejatinya negeri ini mempraktekkan demokrasi musyawarah, bukan voting. Untuk itu, para partai politik yang akan kongres atau munas ke depan, hindarilah politik voting. Kemudian, kedepankan politik musyawarah. Dengan demikian, demokrasi kita diwarnai nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an kita. Semoga.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner di Jakarta