KPK menduga pemilikan PT. RPI dll. adalah Matheus Joko Santoso dkk. secara nominee, dengan berlindung di balik mekanisme Penunjukan Langsung, untuk memudahkan menyamarkan hasil korupsi melalui pencucian uang, mengorganisir kontrol transaksi, distribusi hasil korupsi dan pengamananya.
Oleh karena itu penerapan pasal ancaman hukuman mati sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagai suatu keniscayaan, karena unsur, melawan hukum, menguntungkan diri sendiri dan orang lain, kerugian negara dan unsur terjadi pada saat negara dalam keadaan tertentu yaitu sedang menghadapi bahaya pandemi Covid-19, telah terpenuhi semua.
Padahal KPK secara berturut-turut telah menunjukan kedigdayaan melalui OTT terhadap pelaku korupsi “big fish” dan “high rank”, yaitu Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan RI) dan Juliari P. Batubara (Menteri Sosial RI), di saat pandemi COVID-19, namun semua itu terdegradasi, ketika tersangka hanya dikenakan pasal suap minus pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Tipikor, yang mengacam pelaku dengan pidana mati.
Akhirnya yang dibuat mati oleh KPK bukan “koruptornya” tetapi yang dibuat “mati” adalah “semangat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi”, karena setiap OTT sumber informasinya dari masyarakat.
Penulis adalah KOORDINATOR TPDI & ADVOKAT PERADI di Jakarta