Larang Hina DPR dan Presiden Itu Tirani

Tuesday 27 Mar 2018, 6 : 23 pm

JAKARTA-Kemunculan pasal larangan penghinaan terhadap anggota DPR RI dalam UU MD3 dan penghinaan terhadap Presiden RI dalam revisi UU KUHP, justru mempertegas kecenderungan feodalisme, tirani dan menciptakan monster pidana bagi rakyat Indonesia.
“Kalau di UU MD3 ada larangan penghinaan dan pemanggilan paksa anggota DPR dan larangan penghinaan Presiden RI dalam revisi KUHP, itu sama saja mengundang tirani dan menciptakan monster pidana bagi rakyat,” kata Pakar hukum tata negara (HTN) Nargarito Kamis dalam fotum legislasi ‘Revisi UU KUHP’ bersama anggota DPR RI Sodik Mujahid (Gerindra), M. Nasir Djamil (PKS), Bivitri Susanti dan Abdul Fikar Hajar di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (27/3/2018).

Padahal, di dunia sudah berabad-abad diperjuangkan anti tirani tersebut, tapi kini malah akan dihadirkan kembali ke Indonesia. Karena itu, LGBT harus ditolak total. “DPR dan presiden itu tak bisa dipersonalisasi. Sehingga siapapun nantinya bisa menjadi anggota DPR maupun presiden,” jelas Margarito.

Bersamaan itu pula Margarito mendukung dihidupkan kembali haluan negara atau semacam BGHN, agar tidak setiap pergantian presiden dan DPR RI, berganti pula aturan hukumnya. “Jadi, hidupkan kembali GBHNdemi kemaslahatan bangsa,” pungkasnya.

Bivitri juga pesimis DPR bisa merampungkan 730-an pasal KUHP dengan baik, sistematis, profesional dan berkualitas. Karena banyak anggota DPR yang berlatarbelakang politisi dan bukannya ahli hukum, apalagi hukum pidana. “Dengan keputusan 730-an pasal itu apakah dampak hukum dan pelaksanaan teknis berikut infrastrukturnya sudah disiapkan? Misalnya, kalau makin banyak orang yang dipidana dan dipenjarakan, apakah Lapas sudah menampung mereka?” katanya mempertanyakan.

Dengan demikian Bivitri tidak yakin, revisi KUHP ini akan menjawab persoalan hukum pidana yang dihadapi saat ini. “Secara substansi pun tidak yakin akan lebih baik, karena mayoritas dewan adalah politisi,” pungkasnya.

Menurut Abdul Fikar hukum pidana sudah maju termasuk terkait kebebasan informasi publik. Bahkan ada kemauan untuk menyatukan (kodifikasi) hukum pidana, karena sebelumnya sebagai dekolonialasi UU dari buatan Belanda menjadi produk Indonesia.
“Memang tidak semua nilai dalam KUHP itu negatif. Untuk kasus penghinaan, karena UU ini dibuat di masa kerajaan, dimana rakyat dilarang menghina raja. Juga tidak menyentuh pasal perzinahan yang dilakukan di luar ikatan pernikahan,” jelas Fikar.

Dan, yang terpenting kata dia, harmonisasi UU KUHP ini tidak bertemtangan dengan UU yang lain. Seperti UU Teroris, Tipikor, Narkotika dan lain-lain secara umum. Tak ada yang khusus, sehingga penanganannya juga biasa-biasa saja,” ungkapnya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Komodo Bond Dipasarkan, IFC Raup Dana Rp 2 Triliun

JAKARTA-The International Finance Corporation (IFC), anggota Kelompok Bank Dunia, untuk

Peluang LPS Rate Turun Bukan Tergantung BI

JAKARTA-Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengakui terbuka kemungkinan untuk memangkas suku