JAKARTA-Sistem politik memang tidak ada yang ideal. Namun proses demokrasi itu harus terus-menerus dilakukan agar rakyat terlibat secara langsung, dan diantaranya melalui Pilkada langsung. “Karena Demokrasi itukan, termasuk di dalamnya Pilkada bukan hitungan dagang, jadi bukan mengganti sistemnya. Namun memperbaiki dan menyempurnakan sistem yang sudah ada,” kata Peneliti LP3ES, Taftazani dalam dialog kebangsaan ‘Quo Vadis Pemilukada’ bersama Sekretaris Fraksi Gerindra MPR RI dan Damayanti, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (15/9/2014).
Menurut Taftazani, kalaupun selama ini pilkada langsung dinilai lebih banyak madharat-nya, maka harus terus berusaha untuk mengurangi kemudharatan tersebut. Seperti money politics, biaya yang sangat mahal, proses panjang, dan sebagainya.
“Sebuah pilihan politik dan demokrasi itu memang membutuhkan berbagai resiko, sehingga kita tak bisa mengklaim, men-judgment, bahwa sistem ini sebagai yang terbaik dan seterusnya. Hanya saja secara pribadi, saya mendukung Pilkada langsung,” ungkapnya
Lebih lanjut Taftazani mendorong agar DPR agar revisi RUU Pilkada tersebut tak berdasarkan kerisauan-kerisauan yang muncul belakangan ini, tanpa berusaha memperbaiki sistem politik itu sendiri. “Kalau misalnya, lembaga survei juga berkepentingan dengan Pilkada langsung, maka sebaiknya mereka yang tidak kredibel diberi pelajaran oleh rakyat untuk tidak mempercayainya. Semua harus belajar dari proses demokrasi ini,” ujarnya.
Sementara itu Pengamat Politik Universitas Al Azhar, Damayanti mengatakan kalaupun madharat itu yang menjadi pertimbangan revisi RUU Pilkada, maka sebaiknya dibuat matriks, agar rakyat bisa menilai dan menimbang resiko dari Pilkada langsung selama ini. “Memang eksesnya secara kuantitas kecil, kualitasnya besar. Tapi, dengan Pilkada langsung ini menjadikan pemimpin lebih dekat dengan rakyat, dan rakyat merupakan bagian langsung dari proses demokrasi lima tahunan itu,” tambahnya.
Dengan demikian, lanjut Damayanti, rakyat merasakan langsung terhadap apa yang disebut sebagai pesta demokrasi tersebut. “Kalau tidak, rakyat tak merasa memiliki pemimpinnya karena tidak terlibat secara langsung, dan sekaligus tidak ada proses pendidikan demokrasi untuk rakyat,” pungkasnya. (ek)