Mengapa Unit Pembangkit Energi Terbarukan Milik PLN Dipreteli?

Saturday 31 Jul 2021, 11 : 48 am
by
Utang global bond ini jika terealisasi semuanya maka nilainya mencapai 536 triliun rupiah, itu dari global bond saja. Lalu bagaimana utang Pertamina sekarang yang nilainya sudah hampir 600 triliun rupiah.
Pengamat Ekonomi AEPI Salamuddin Daeng

Oleh: Salamuddin Daeng

Aset unit geotermal milik PLN akan disubholdingkan lalu diserahkan kepada Pertamina Geotermal energi (PGE).

Sementara PGE sendiri telah di subholdingkan dipisah dari Induknya pertamina.

Dengan demikian PGE dan unit pembangkit geotermal milik PLN selanjutnya akan di IPO, yakni dijual melalui pasar modal, untuk dimiliki sebagian sahamnya oleh swasta.

Padahal unit pembangkit geotermal PLN amatlah penting dan strategis bagi PLN. Mengapa?

Alasan paling utama adalah adanya kebutuhan PLN dalam meningkatkan bauran energinya, dan memulihkan nama baik PLN di mata publik nasional dan internasional terkait isue lingkungan hidup.

PLN tentu tidak mau dianggap gagal dalam meningkatkan bauran energi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Matahari, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) dan termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Geotermal (PLTP).

Namun upaya ini akan sia sia jika seluruh pembangkit energi terbaharukan ini malah dipreteli dan diserahkan kepada swasta melalui IPO..

Padahal serangan berbagai pihak kepada PLN makin bertubi tubi. Serangan datang karena PLN dianggap berkontribusi besar pada pencemaran lingkungan.

Bahkan PLN dianggap tidak atau kurang mendukung komitmen presiden Jokowi terhadap perjanjian perubahan iklim COP 21 Paris.

Bahkan desakan terhadap PLN untuk menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara PLN.

Desakan itu datang dari organisasi lingkungan dan tekanan dari elite politik sendiri.

Bahkan Pembangkit listrik utama sumber pemasukan bagi PLN yakni pembangkit PLTU 9-10 Suralaya di obok obok oleh berbagai pihak.

Alasannya PLN memproduksi listrik dari batubara yang ditenggarai sebagai sumber pencemaran nomor satu saat ini.

Padahal sebagian besar listrik yang dibeli PLN dari swasta berbahan bakar batubara. PLN harus membeli karena aturan yang berlaku demikian. PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan swasta.

Namun pembangkit batubara swasta tidak pernah diobok obok apalagi oleh pemerintah.

Sementara pembangkit PLN terus di preteli. Apakah karena sebagian besar pembangkit batubara di Indonesia dimiliki oleh bandar bandar kelas kakap, oligarki papan atas di negeri ini?

Sekarang unit pembangkit terbaharukan yakni PLTG milik PLN dipreteli, akan diserahkan kepada pihak lain.

Maka hilanglah kesempatan PLN untuk meningkatkan kapasitas menyongsong agenda perubahan iklim. Kondisi ini akan menyulitkan keuangan PLN dimasa depan.

PLN akan semakin sulit mendapatkan sumber sumber pembiayaan yang murah yang kita tau akan ada dari isue perubahan iklan.

Jika PLN gagal dalam mencapai target penurunan emisi, maka sudah pasti akan disapu oleh kesempatan perubahan iklim COP 26 yang akan berlangsung tahun ini di Glasgow.

Padahal menurut Sri Mulyani menteri keuangan kesepakatan perubahan Iklim COP 26 akan jauh lebih mematikan perekonomian dibandingkan covid 19.

Sementara ujung tombak pemerintah untuk meraih target penurunan emisi adalah PLN. Semua orang tau era ke depan adalah era electricity, digitalisasi dan zero emisi.

Last Oil.

Penulis adalah Pengamat Ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Kemenperin Beri Bantuan Mesin dan Peralatan Kepada IKM Korban Banjir

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyerahkan bantuan mesin dan peralatan kepada para

Pemerintah Didesak Perpanjang Moratorium Hutan

SEMARANG- Pemerintah diminta memperpanjang moratorium pemberian izin baru dan penyempurnaan