MK Tolak Gugatan UU MD3, 2 Hakim Sampaikan Dissenting Opinion

Monday 29 Sep 2014, 8 : 18 pm
by

JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh PDI Perjuangan. MK menilai UU MD3 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan uji materi UU MD3 pemohon tidak beralasan menurut hukum.  Namun putusan MK ini tidak bulat karena dua orang hakim MK mengajukan Dissenting Opinion atau berbeda pendapat. “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis sidang Hamdan Zoelvadi ruang sidang pleno Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (29/9).

Dalam pertimbangan, hakim menilai pemilihan ketua lembaga itu merupakan hak dan kewenangan dari anggota DPR. Sebab, UUD 1945 tidak mengatur secara langsung pemilihan pimpinan lembaga.

Sebagaimana diketahui, pasal yang digugat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) ini terutama pasal 84 ayat 1 UUD MD3 yang isinya pimpinan DPR terdiri atas 1 orang dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.

Selain itu, pasal lain yang digugat yaitu pasal 97, pasal 104, pasal 109, pasal 115, pasal 121, dan pasal 152 yang isinya tentang posisi perempuan untuk mengisi jabatan strategis di DPR diantaranya, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT.

Dalam pertimbangannya yang dibacakan hakim konstitusi Patrialis Akbar, Pasal 84, 97, 104, 115, 121, dan 152 yang digugat PDI Perjuangan tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Menurut Mahkamah UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan organisasi lembaga DPR termasuk cara dan mekanisme pemilihan pemimpinnya. UUD 45 hanya menentukan bahwa susunan DPR diatur dengan undang-undang,” ujarnya.

Menurut Mahkamah, lanjutnya, pemilihan ketua dan alat kelengkapan pimpinan DPR adalah wilayah kebijakan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya sendiri.

Mekanisme tersebut bisa dibuktikan dengan beragamnya cara pemilihan DPR baik sebelum atau sesuai perubahan UUD 1945 antara lain ditentukan dari dan oleh anggota DPR sendiri dengan sistem paket atau sistem pencalonan oleh fraksi yagn memiliki jumlah anggota tertentu atau ditentukan berdasarkan komposisi jumlah anggota fraksi di DPR.

Sementara itu, dua hakim MK berbeda pendapat dalam sidang putusan gugatan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang UU MD3. Dua hakim yang dissenting opinion yakni Maria Farida Indrati dan Arief Hidayat.

Menurut Maria, gugatan pemohon seharusnya dikabulkan. “Pembentukan UU MD3 tidak berdasarkan prinsip negara hukum. Pengujian formil seharusnya dikabulkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujarnya.

Menurut Farida, dalam suatu negara hukum diperlukan asas kepastian hukum. Jika Undang-undang yang mengatur tentang empat lembaga sekaligus-MPR, DPR, DPD, DPRD — berubah setiap kali periode Pemilu, maka kepastian hukum tidak akan tercapai. “Apa penggantian UU itu tidak menimbulkan kerugian konstitusional,”tegasnya.

Farida menyatakan, sebagai UU yang bersifat organisatoris, seharusnya UU MD3 dipersiapkan jauh hari sebelum Pemilu dimulai. Dan pembentukan UU ini pun, kata Maria, harus mengedepankan keterbukaan dan kelembagaan. “Tidak ada perubahan mendesak dan naskah akademik tidak pernah ada, maka pembentukan UU aquo bertentangan dengan UUD 1945, terlepas dari substansi UU MD3 saya menyatakan UU MD3 bertentangan dengan asas kelembagaan dan keterbukaan,” ujar Maria.

“UU MD3 bertentangan karena tidak melibatkan perwakilan daerah dalam putusannya‎, termasuk hak-hak perempuan, kerugian konstitusional yang eksistensinya diatur UUD 45,” sambungnya.

Pasal yang digugat di UU MD3 ini terutama pasal 84 ayat 1 UUD MD3 yang isinya pimpinan DPR terdiri atas 1 orang dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Selain pasal tersebut, pasal lain yang digugat yaitu pasal 97, pasal 104, pasal 109, pasal 115, pasal 121, dan pasal 152 yang isinya tentang posisi perempuan untuk mengisi jabatan strategis di DPR diantaranya, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT.

Maria menyatakan proses pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2014 tersebut bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan asas keterbukaan. Pembentukan UU MD3 juga bertentangan dengan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2013.  “Oleh karena pembentukan UU a quo tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasannya,” kata Maria di ruang sidang pleno.

Arief Hidayat menilai UU MD3 sejak kelahirannya mengalami cacat baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil materi muatannya.  “Saya berpendapat seharusnya permohonan pemohon mengenai pengujian formil maupun materiil UU a quo dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata Arief yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Hamdan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

BTN Mampu Implementasikan Nawacita

JAKARTA-Masyarakat menyayangkan terhadap pihak-pihak yang melakukan kampanye hitam terhadap kinerja

Perluas Peran Anak Muda Dalam Transisi Energi, Kementerian ESDM Luncurkan GERILYA Academy Batch 6

JAKARTA –  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bekerja sama