Pemerintah Menjadi Satu Faktor Pemicu Konflik

Thursday 24 Apr 2014, 2 : 33 pm
by

SEMARANG-Eskalasi konflik di Indonesia diprediksi masih akan terus meningkat di masa mendatang mengingat catatan panjang ketidakhadiran negara dalam penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat. Diperlukan Kepala daerah yang komunikatif  dan peka terhadap masalah daerahnya. Konflik bisa terjadi akibat pembanguan yang timpang serta akar kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan pembangunan juga langsung maupun tak langsung, turut menyebabkan kekerasan dalam komunitas-komunitas agama dan etnis . “Untuk itu perlu mengembalikan peranan, tugas dan kewajiban kepala daerah sebagai pelayan masyarakat bukan pelayan partai. Kepala daerah berkewajiban menjaga dan memelihara kerukunan warganya,” tutur rohaniawan Benny Susetyo dalam Workshop dan Focus Group Discussion yang digelar Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata dan United Board for Christian Higher Education in Asia, Kamis (24/4).

Kementerian Dalam Negeri mendata sebanyak 104 konflik sosial terjadi selama Januari hingga November 2012. Dari 104 peristiwa konflik sosial tersebut, bentrokan antarwarga merupakan pemicu konflik sosial yang paling besar mencapai 33,6 persen, disusul isukeamanan sebanyak 26 kali peristiwa atau mencapai 25 persen.

Pemicu lainnya yaitu sengketa lahan dan konflik organisasi kemasyarakatan masing-masing sebanyak 13 peristiwa atau 12,5 persen sedangkan isu SARA hanya 10 peristiwa atau 9,6 persen menjadi pemicu konflik. Sementara isu kesenjangan sosial hanya satu peristiwa, konflik pada institusi pendidikan dan ekses konflik politik masing-masing tiga peristiwa. “Potensi konflik di masa datang di Poso dan Ambon adalah persoalan tanah pasca konflik yang tidak terselesaikan. Dan umumnya negara melakukan pembiaran. Aparat tidak bergerak mencegah terjadinya konflik. Konflik merupakan potensi pendapatan,” tuturnya.

Dalam kesempatan serupa, sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola mencatat tiga langkah bila ingin mengupayakan solusi atas konflik komunal yang terus mendominasi kekerasan di Indonesia di masa lalu dan di masa datang. “Untuk jangka pendek, keamanan harus ditegakkan dengan pertama-tama menangkap dan mengeluarkan para provokator dari wilayah konflik. Dalam jangka-menengah, sumbu sentimen agama dan suku yang selama ini disulut perlu didinginkan dengan cara ajakan – melalui berbagai media dan kesempatan – untuk lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai fundamental yang paling mulia mengatasi semua nilai yang lain,” ujarnya.

Dalam jangka-panjang, lanjutnya, perlu diupayakan agar baik konteks-konteks yang mengfasilitasi perlu dirubah lewat kebijakan publik yang berpegang-teguh pada penegakan keadilan dalam semua bidang. Berbagai kebijakan publik yang diarahkan untuk mengubah tatanan kontekstual yang memfasilitasi konflik komunal juga perlu dirumuskan.

Workshop dan Focus Group Discussion, 24-25 April bertajuk ‘Menggagas Pembelajaran dan Kurikulum di Fakultas Hukum untuk Penanganan Konflik Sosial melalui Pendidikan dan Dialog Inter-Kultural’ dihadiri sembilan perguruan tinggi a.l. Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), IAIN Wali Songo, Universitas Wahid Hasyim, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Semarang, Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY). 

Pertemuan lintas universitas ini adalah serial kelanjutan dari penelitian yang diadakan oleh Tim Unika Soegijapranata dengan judul ‘Intercultural Dialog and Education in Indonesia: Encountering Social Conflict with Reconciliation and Peace Building Initiative in Law School Curricula.’

Dalam kegiatan ini dilakukan tukar pandangan tentang pembelajaran untuk menggagas bagaimana mencari alternatif pendidikan dalam rangka menangani konflik sosial dari masing-masing Fakultas Hukum. “Salah satu elemen penting kegiatan ini adalah menganalisis isi Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan silabus di FH perguruan tinggi di Indonesia, apakah SAP ini telah memasukkan alternatif penyelesaian konflik antar etnis dan antar umat beragama, baik dalam bentuk rekonsiliasi atau mediasi di dalam kurikulumnya,” tutur Ketua Panitia Rika Saraswati, kandidat doktor hukum dari University of Wollongong, Australia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Keuangan Global Dorong Indonesia Keluarkan Paket Kebijakan

JAKARTA-Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU-PPKSK) akan menjamin

Ini Pesan Gus Mus Kepada Menag, Gus Yaqut

REMBANG-Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas hari ini sowan ke