Pengacara Dipuji dan Dicemooh

Senin 22 Feb 2021, 11 : 21 am
by
Edi Danggur, S.H., M.M., M.H, Advokat/Pengacara dan juga dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta.

Tetapi mengapa pada saat yang sama, para lawyer justru dicela, diejek bahkan dicaci maki.

Jerome Frank bilang, tidaklah sulit untuk menjelaskan mengapa pengacara begitu dihormati.

Sebab, pengacaralah yang mempertahankan prinsip-prinsip dan asas-asas keadilan, merekalah tempat kaum awam mencari perlindungan hukum, tempat kaum awam mempertahankan kesucian hak milik mereka dari rampasan pihak lain.

Inilah lahan pelayanan para lawyer di tengah masyarakat. Fungsi-fungsi semacam ini yang memberikan martabat kehormatan kepada pengacara.

Tetapi mengapa pada saat yang bersamaan, rasa hormat pada profesi lawyer itu, muncul pula penghinaan atau sinisme pada profesi pengacara itu sendiri? Martin Luther King pernah mengatakan: “Seorang pengacara yang baik, pastilah ia seorang penganut agama kristen yang paling buruk”. Itu dia ungkapkannya pada abad ke-16.

Gay, seorang komedian panggung yang kerjanya membuat orang bisa tertawa dengan permainan kata-kata mereka, bahkan pernah membacakan sebuah puisi dimana ia identikkan pengacara itu sebagai sebagai pembohong: “Aku tahu kalian para pengacara// Dengan keahlianmu, kamu bisa dengan mudahnya memelintir kata-kata dan memberikan arti pada kata-kata itu dengan sesuka hati kamu//. Dengan keahlianmu, bahasa menjadi beku dan liat//. Kamu pun dapat membuat klienmu bertekuk lutut di hadapanmu//”.

Josh Billings justru tidak sabar dan tidak perlu memakai kata yang berputar-putar untuk mengungkapkan ketidaksukaannya pada profesi pengacara itu: “Menyelesaikan suatu masalah melalui ranah hukum, dengan menggunakan jasa pengacara bagaikan menguliti sapi yang baru menghasilkan susu. Peternak mendapatkan kulitnya, sedangkan dagingnya diberikan kepada pengacara” (2013:38).

Dalam bukunya berjudul “Hudibras”, Butler mengemukakan sinismenya terhadap profesi pengacara: “ Orang yang sudah mengalami kerugian, tetapi justru minta jasa pengacara untuk mendapatkan pertolongan, adalah orang-orang yang lebih pandir daripada orang-orang Skotlandia.

Mengapa? Orang Skotlandia, kalau ada seorang pencuri yang telah merampok seluruh isi rumahnya, ia justru mencari dan meminta bantuan pada orang yang licik dan rakus harta, untuk membantunya mendapatkan barang-barangnya lagi”.

Pendapat Josh Billings dan Butler di atas, tidak berbeda jauh dengan pepatah yang mewakili kepercayaan orang China kalau berperkara di pengadilan (dengan menggunakan jasa pengacara) itu ibarat hilang seekor kucing dan untuk menemukan seekor kucing itu harus menjual lembu terlebih dahulu (M. Yahya Harahap, 2008:234).

Tanpa tedeng aling-aling, Arnold Bennet mencela profesi pengacara: “Pengacara adalah musuh paling jahat dalam perkembangan sosial saat ini”. Ia senafas dengan Ambassador Page yang mengatakan: “Saya kadang berharap tidak pernah ada pengacara di dunia ini”.

Semua cemoohan, sinisme, ejekan itu berangkat dari pengalaman pribadi orang-orang awam hukum di tengah masyarakat bahwa para pengacara itu sering bermuka dua, berperilaku “karaoke” (kanan kiri oke), mengabaikan konflik kepentingan dalam menangani perkara.

Perkataan-perkataan yang mereka ucapkan sering bermakna ganda.  Para lawyer juga sering terlibat dalam penipuan dan permainan bisnis perkara. Berargumentasi berputar-putar semata-mata untuk menyelamatkan klien mereka tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, dan akhirnya mereka tenggelam dalam praktek kemunafikan.

Di sinilah tantangan bagi masyarakat pengguna jasa para pengacara tersebut.
Bagi masyarakat, dalam menyelesaikan sengketa keperdataan, jadilah warga yang cerdas dan berhentilah menjadi orang bodoh.

Cerdas dalam arti masyarakat harus menyadari bahwa berperkara di pengadilan itu membuat anda menjadi lumpuh (secara finansial) karena harus mengeluarkan uang banyak. Berhenti menjadi orang bodoh, bukan dalam arti tidak berpendidikan.

Orang bodoh berarti orang yang percaya akan sesuatu yang bertentangan dengan seluruh pengalamannya. Ketika diakali, ia tetap percaya. Diakali sekali lagi, tetap juga mempercayai orang yang mengakalinya. Jika memang sudah mempunyai pengalaman bahwa menyelesaikan perkara di pengadilan itu banyak ruginya, maka optimalkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Bagi pengacara, tantangannya adalah bagaimana para lawyer (termasuk penulis) berusaha memantaskan diri dalam berperilaku di tengah masyarakat.

Untuk meminimalisasi penilaian negatif dari kaum awam hukum maka para lawyer seyogyanya memegang teguh etika profesi bahwa profesi bukan semata-mata sebagai sumber nafkah. Tetapi profesi juga seyogyanya sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri dan sarana untuk melayani sesama demi tercapainya kebaikan umum. 

Penulis adalah seorang Advokat/Pengacara dan juga dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta.

Komentar

Your email address will not be published.

Don't Miss

BNI Beri Pinjaman Rp 400 Miliar Bangun Hangar 4 Garuda

JAKARTA-PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan Wijaya Karya berhasil

Pengusaha Mikro dan Kecil Minta Pajak 0 Persen

JAKARTA-Meskipun sudah diturunkan dari dari 1 persen menjadi 0,5 persen,