JAKARTA-Pemerintah diminta hati-hati terkait rencana pengalihan atau penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastuktur. Hal ini bisa saja dianggap “penyimpangan” nomenklatur kegiatan atau tujuan dari dana tersebut. “Masalahnya, dana haji ini milik rakyat. Masyarakar berniat untuk berhaji bukan untuk yang lain. Mereka setor uang ke negara bukan untuk kepentingan infrakstuktur,” kata Direktur eksekutif Center for Budget Analysisi (CBA) Uchok Sky Khadafi dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (12/1/2019).
Uchok mendesak Pemerintahan Jokowi tidak memaksakan penggunaan dana haji untuk kebutuhan investasi pembangunan terutama infrastuktur. “Mestinya, dana haji yang sudah diinvestasikan, selayak dikembalikan kepada jamahaah haji agar ongkos haji jadi murah,” tambahnya.
Lebih jauh kata Uchok, harusnya dana haji diprioritaskan dan digunakan guna membangunan fasilitas publik untuk kepentingan jemahan haji ke depan. Penggunaan dana haji untuk infrastuktur harus tinjau kembali, karena dikhawatirkan rawan penyalahgunaan,” jelasnya.
Boleh saja pemerintah beranggapan penggunaan dana haji takkan mengganggu pelayanan Ibadah haji, sambung Uchok, karena memang dana pelanyanan cukup kecil. “Anggaran pelayanan haji atau anggaran operasional untuk pemberangkatan calon jemahan haji setiap tahun atau pada 2014, hanya sebesar Rp.9.1 triliun dan pada 2015 sebesar Rp11 triliuun,” ungkapnya.
Berdasarkan catatan CBA, dana haji atau aset penyelenggaran ibadah haji pada 2014 sebesar Rp73.9 triliun dan pada 2015 naik menjadi Rp83.6 Triliiun. Namun pada tahun itu kemudian ada sebagian yang diinvestasikan dalam bentuk deposito jangka pendek ARO (Automatic Roll Over) sekitar Rp45,5 triliun.
Bahkan ada juga yang dalam bentuk rupiah dan dollar Amerika. Disisi lain, posisi dana haji ada juga yang diinvestasikan kepada Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk) sebesar Rp35,7 triliun.