Perlukah Perppu PEN Jilid II?

Tuesday 9 Mar 2021, 12 : 33 pm
by
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR dan Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian, MH Said Abdullah

Oleh: MH Said Abdullah

Pandemi Covid-19 telah berjalan setahun, bila kita rujuk sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pasien Covid-19 pertama kali pada 2 Maret 2020.

Tanggap atas dampak penyebaran Covid-19 yang kian meluas, baik secara Kesehatan, ekonomi dan sosial, pemerintah kemudian mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020.

Perppu tersebut kemudian mendapat persetujuan DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020.

Salah satu poin penting yang diatur dalam Perppu adalah adanya kewenangan Pemerintah dalam menetapkan batasan defisit APBN, lebih dari 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun toleransi pelebaran defisit APBN lebih dari 3 persen PDB dibatasi waktu hingga tahun 2022.

Artinya, pemerintah hanya memiliki tiga tahun anggaran untuk menggunakan kesempatan tersebut.

Karena kita tidak memiliki kemewahan waktu, tiga tahun bukankah waktu yang lama.

Keberhasilan pemulihan ekonomi akibat pukulan pandemi menjadi syarat kita berhasil pada situasi “APBN normal”, yakni kembali ke defisit APBN maksimal 3 persen PDB, sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Syarat agar kita bisa kembali ke ‘APBN normal’ adalah pertumbuhan ekonomi bisa kembali ke angka 5 persenan.

Terutama sektor-sektor primer, penerimaan pajak dapat di terima dengan utuh, sektor riil dan keuangan tidak perlu banyak ditolong lagi dengan berbagai insentif pajak, pertumbuhan ekspor dan investasi secara prosentase berjalan dievel dua digit, program perlindungan sosial berhasil menahan lapis bawah lepas dari kemiskinan parah.

Sehingga sebagian anggaran subsidi dapat dialihkan ke sektor produktif, dan tingkat konsumsi pulih, terutama konsumsi kelas menengah atas yang selama pandemi menahan tingkat konsumsinya.

Atas asumsi ini, maka negara tidak membutuhkan belanja ekstra effort sebagai penopang tingkat konsumsi (demand side).

Sebab pilar pilar konsumsi lainnya telah berjalan dengan baik.

Bila negara tidak perlu belanja ekstra effort, terlebih kebutuhan belanja dapat dipenuhi dengan penerimaan negara yang meningkat, maka ketergantungan terhadap pembiayaan utang juga bisa kita kurangi.

Pembalikan Ekonomi
Dalam APBN 2020, Pemerintah dan DPR sepakat untuk menempuh langkah extraordinary, dengan cara melebarkan defisit anggaran sebesar Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB, sampai dengan akhir tahun realisasi defisit sebesar Rp956,3 triliun atau 6,09% dari PDB.

Guna memenuhi kebutuhan defisit anggaran yang membengkak tersebut, Pemerintah mengalokasikan pembiayaan anggaran mencapai Rp1.190,9 triliun, dimana sumber utamanya berasal dari pembiayaan utang yang mencapai Rp1.226,8 triliun.

Hasilnya, kontraksi ekonomi kita tidak separah berbagai kawasan lain.

Selama tahun 2020, secara kuartalan ekonomi kita menuju arah perbaikan.

Setelah pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi kita minus 5,32 persen, namun secara perlatan kuartal III 2020 kita lebih baik, meski masih minus 3,49 persen.

Secara tahunan kita mencatatkan pertumbuhan ekonomi minus 2,19 persen.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang minus 3,5 persen, Eropa minus 6,8 persen, Jepang minus 4,8 persen, dan India minus 8,4 persen.

Capaian kita pada tahun 2020 adalah momentum untuk mendorong PDB kita menuju ke arah pertumbuhan positif pada tahun 2021.

Pada APBN tahun 2021, pemerintah masih melonggarkan defisit APBN Tahun 2021 mencapai 5,7 persen atau sebesar Rp1.006,4 triliun.

Skema ini masih sebagai tumpuan agar pemerintah memiliki kelonggaran fiskal untuk menopang kelanjutan Program PEN, terutama program vaksinasi Covid-19 sebagai strategi kita mengalahkan Covid-19 dan mengembalikan keadaan seperti sedia kala.

Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah masih mengandalkan pembiayaan utang.

Target utang direncanakan sebesar Rp1.177.350,9 miliar sebagai ganti akibat penerimaan pajak yang belum pulih, dan masih diarahkan untuk menopang pemulihan ekonomi melalui berbagai program diskon pajak.

Ada dua kunci sukses dalam mengukur keberhasilan program kita di tahun 2021 ini.

Pertama; keberhasilan program vaksinasi Covid-19, sehingga sektor riil bisa bergeliat kembali, terlebih masih ditopang dengan berbagai insentif melalui Program PEN 2021.

Kedua, karena sektor riil lebih bisa bergerak lebih longgar, harusnya pertumbuhan ekonomi 2021 mencatatkan prestasi yang lebih baik, setidaknya 3 persen.

Terutama terhadap sumber-sumber pertumbuhan yang mampu mendongkrak lapangan kerja, sehingga menurunkan angka kemiskinan.

Bila prestasi pada tahun 2021 ini bisa kita raih, maka desain APBN 2022 harus kita rencanakan sebagai APBN transisi menuju kenormalan.

Hal hal yang perlu disiapkan menuju kenormalan adalah;

Pertama; optimalisasi penerimaan pajak. Otomatis berbagai diskon pajak harus berkurang drastis.

Langkah ini sebagai persiapan mengganti sumber penerimaan yang selama dua tahun ini di topang dari pembiayaan utang.

Kedua; belanja negara lebih banyak diarahkan pada sektor sektor produktif, termasuk melanjutkan berbagai Proyek Prioritas Strategis Nasional (PPSN).

Kita perlu memastikan kesinambungan pelaksanaan 41 proyek prioritas strategis nasional yang akan mulai dibangun pada tahun 2021.

Kita harapan PPSN ini tidak semata mata mengandalkan APBN, kita lebih optimalkan kerjasama BUMN dan Swasta.

Betapapun APBN memiliki keterbatasan, selain keharusan berbagai program mandatori, dengan mendorong skema KPBU atau swasta murni mengindikasikan proyek tersebut visible secara ekonomi.

Jika tahun kerja 2021-2022 kita berhasil mencapai target, hal itu akan menjadi bekal kita kembali ke defisit maksimal APBN 2023 ke 3 persen PDB.

Sebaiknya bila tahun 2021-2020 kita gagal mencapai target, dengan berat hati kita katakan agenda pemulihan ekonomi nasional gagal, sehingga program PEN harus dilanjutkan.

Dampaknya pemerintah harus mengajukan perpanjangan ulang defisit lebih dari 3 persen PDB kepada DPR untuk merevisi Undang Undang No 2 tahun 2020.

Jika demikian, perlukah Perppu PEN Jilid II mendorong percepatan recovery ekonomi atau Tax Amnesty Jilid II guna menambah pemasukan negara ditengah ancaman melebarnya defisit anggaran?

Semoga hal ini tidak terjadi.

Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR RI dan Ketua DPP PDI Perjuangan, Bidang Perekonomian

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PT Mitra Integrasi Informatika

MII Hadirkan KOMI, Solusi Konventer BI-FAST

JAKARTA-Pertumbuhan digital dari waktu ke waktu memberikan hasil eksponensial untuk

Investor Tetap Tunggu Rekapitulasi Suara Pilpres

JAKARTA-Rekapitulasi suara Pilpres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat ditunggu