Bayangkan saja Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pemegang kunci dalam isue ini praktis tidak bekerja dengan baik, kinerja mereka sangat buruk dalam mewujudkan harapan sinuhun paling tidak sejak ratifikasi perjanjian COP 21 Paris menjadi UU.
Penggunaan energi fosil batubara di PLN praktis tidak tergoyahkan dan makin dominan.
Sepanjang tahun 2017 – 2020 penggunaan batubara dalam seluruh pembangkit meningkat dari 58,4% menjadi 66,3%, dan tahun 2024 diperkirakan akan mencapai 70,1%.
Sebaliknya penggunaan energi baru terbaharukan jalan ditempat dan diperkirakan pada 2024 hanya 13,7, dari saat ini 2020 sebesar 13,2%.
Dengan demikian maka semua janji Presiden Jokowi telah gagal dilaksanakan.
Sementara, dunia terus bergerak maju. Dalam KTT virtual yang dihadiri 80 negara termasuk China tahun lalu, Uni Eropa telah diambil kesepakatan mengikat untuk menurunkan emisi hingga 55 % pada 2030.
Selanjutnya akhir tahuan 2021 ini akan berlangsung pertemuan tindak lanjut COP 21 akan berlangusng di Glasgow Scotlandia (COP 26).
Pertemuan ini akan membawa kepada suatu komitemen yang lebih tinggi lagi, dimana negara negara Uni Eropa akan mengakhiri sama sekali penggunaan batubara, dan sebuah konsensus baru yang ingin dicapai adalah mengakhiri pembangkit listrik batubara di seluruh dunia pada 2050.
Lalu apa pandangan mereka kepada Indonesia sebagai salah satu eksportir batubara di dunia?
Mungkin pemerintah negara ini hanya akan dianggap gombal.
Penulis adalah Pengamat Ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) di Jakarta