Politik Uang Karena Sistem Proporsional Terbuka

Monday 5 May 2014, 6 : 04 pm
by
Wakil Ketua MPR RI,Lukman Hakim Saifuddin, Burhanuddin Muhtadi dan Titi Anggraini

JAKARTA-Maraknya politik uang yang terjadi pada pemilu legislatif, 9 April 2014 lalu dikarenakan sistem pemilu proporsional terbuka dan elit calegnya yang memberi uang pada masyarakat. Sistem politik uang ini tidak bisa dibendung karena politik uang telah ada mulai dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) sampai pemilihan legislatif 2014 ini. Demikian dikatakan Pengamat Pemilu Perludem, Titi Anggaraini dalam dialog bertajuk “Refleksi dan Evaluasi Sistem Pemilu Legislatif 2014” di Gedung Perpustakaan MPR-RI, Jakarta, Senin (5/5).

Hadir pada acara tersebut, Wakli Ketua MPR-RI, Lukman Hakim Saefuddin dan Pengajar Ilmu Politik FISIP UIN Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi.

Menurut Titi Anggraini, evaluasi pemilu hendaknya harus komprehensif. Evalusi ini harus dimulai dari sistem, penyelenggara dan pengawas di lapangan. Namun, anehnya, meski penghitungan suara banyak terjadi kecurangan, tapi hasilnya sampai ke KPU Pusat, tidak dapat terdeteksi. Oleh sebab itu, evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh terhadap UU No.8 Tahun 2012 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD). “Satu-satunya UU yang dibahas selama dua tahun, dan diputuskan dalam dua hari dua malam,” ujar Titi Anggraini.

Titi menambahkan, jika memang ada upaya perbaikan dengan sistem pemilu 2014 tersebut,  dengan meng-upload formulir C1 plano, ada hologram, dan pengawas pemilu harus ditambah.  Sehingga dapat mengurangi kecurangan-kecurangan itu. “Sebenarnya kecurangan itu ada dipenyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Mereka lebih tahu dalam melakukan kecurangan-kecurangan tersebut,” katanya.

Lebih jauh Titi Anggaraini menjelaskan, apapun sistem yang dipilih, selama tanpa melakukan proses kaderisasi di internal partai, maka sistem apapun tidak akan jalan. “Sistem proporsional terbuka percuma dan menyuburkan angka korupsi yang sangat signifikan dan proporsional tertutup juga bukan solusi, apalagi tidak ada kaderisasi yang akuntabel dan tranfaran di internal partai politik,” jelasnya.

Selain itu kata Titi Anggraini, jika ada sistem pemilu di dunia yang baik dan semprna kita dapat mencontohnya untuk Indonesia. Namun sayangnya, Mahkamah Konstitusi (MK) malah  memperkuat suara terbanyak, sedangkan partai dan penyelenggara pemilu belum siap dengan proses yang akan dilakukan. “Masih banyak yang harus dievaluasi, termasuk rekrutmen caleg itu sendiri dan jangan hanya fokus mendapatkan kursi saja,” tandas Titi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Wabah “Corona” Bisa Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Nasional

JAKARTA–Kalangan DPR minta pemerintah mewaspadai dampak ekonomi dari serangan Virus
Vat Refund

Layanan Perpajakan Tatap Muka Dibuka Kembali 15 Juni 2020

JAKARTA-Direktorat Jenderal Pajak kembali membuka layanan perpajakan tatap muka di