Presiden Harus Bicara Soal Polemik Perpanjangan Kontrak Freeport

Sunday 18 Oct 2015, 7 : 45 pm
by
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean

JAKARTA-Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean mendesak Presiden Joko Widodo segera angkat bicara ke public terkait polemik perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia supaya publik mengetahui dan paham posisi pemerintah, sehingga rakyat tidak disuguhi sinetron politik. “Semakin gaduhnya situasi nasional baik ditengah publik maupun di internal pemerintah sendiri terkait polemik perpanjangan kontrak Freeport harus segera diakhiri. Untuk itu, Presiden harus bicara ke public,” ujar Ferdinand dalam keterangan tertulisnya Minggu (18/10).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan pemerintah belum mengambil keputusan final terkait perpanjangan izin usaha pertambangan perusahaan tambang raksasa PT Freeport Indonesia. Pemerintah masih menerapkan prinsip ketentuan hukum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu diktum dalam PP tersebut dijelaskan batas waktu pengajuan perpanjangan izin pertambangan diajukan 2 tahun sebelum kontrak habis.

Menurutnya, pemerintah harus lebih dulu mencermati titik kritis terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Titik kritis itu mencakup perusakan lingkungan, isu pelanggaran HAM, peningkatan royalti, perubahan kontrak karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP).

Isu kritis lainnya jelas Ferdinand, terkait percepatan pembangunan Smelter, adanya persepsi dari Freeport tidak wajib tunduk pada UU Minerba No.4, Divestasi saham, Control dan management. “Point -point tersebut menjadi titik kritis atas polemik perpanjangan kontrak Freeport, yang mana sesungguhnya sesuai UU Tahun 2021 tidak ada lagi perpanjangan kontrak terhadap Freeport akan tetapi adalah pemberian IUP. Tentu ini dua hal berbeda, karena semangat IUP lebih berpihak kepada negara,” tuturnya.

Untuk itu, Ferdinand mendesak pemerintah untuk segera melakukan negosiasi ulang kepada Freeport. Negosiasi ulang ini mencakup program perbaikan lingkungan, perhatian khusus kepada masyarakat adat, meningkatkan royalti minimal 5%, melaksanakan pembangunan smelter selambat-lambatnya awal tahun 2016, menambah jumlah management jajaran direksi dan komisaris dari Indonesia, Divestasi saham hingga 51%, dan auditor adalah BPK. “Jika point-point ini disepakati dan disetujui oleh Freeport maka pemerintah juga wajib memberikan kepastian pemberian IUP dan memperpanjang operasi Freeport di Papua hingga 2041,” tuturnya.

Hal ini ucapnya merupakan jalan tengah untuk kebaikan bersama antara Freeport dan Indonesia. “Namun jika Freeport tidak menyetujui syarat tersebut, kita minta agar Freeport angkat kaki dari Indonesia,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Tolak Joget Gemoy, JAKA Ajak Masyarakat Cinta Budaya Indonesia

SURABAYA-Jaringan Arek Ksatria Airlangga (JAKA) Surabaya terus melakukan kampanye mengajak

Anak Usaha Delta Dunia Makmur Raih Pembiayaan Syariah US$60 Juta

JAKARTA-PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA), anak usaha dari PT