Puan Maharani; Dalam Bingkai Kepemimpinan Perempuan Perspektif Madzhab (Bagian II)

Monday 5 Sep 2022, 1 : 34 pm
by
Ilustrasi

Oleh: Masduki Duryat

Pemikiran Kontekstual; Sebuah Solusi

Pemikiran kontekstual mencoba untuk memahami teks-teks ayat dan hadits tidak semata pada teks-teksnya, tetapi spiritapa yang ‘dibangun’ dan melatarbelakangi turunnya ayat dan hadits tersebut—tentu sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu.

Abdurrahman Wahid dalam hal ini misalnya memberi contoh.

Sebuah hadits nabi memerintahkan ummat beliau agar memperbanyak pernikahan dan kelahiran.

Karena di hari kiamat beliau akan membanggakan mereka di hadapan ummat nabi-nabi yang lain.

Pada mulanya, kata “banyak” dipahami sebagai jumlah, karena saat itu memang zaman penuh kesulitan dalam memelihara anak.

Dengan tingginya kematian anak, maka ada kekhawatiran bahwa jumlah ummat Islam akan dikalahkan oleh jumlah ummat lain. Akan tetapi alasan demikian pada saat ini tidak bisa dipertahankan lagi, ketika penonjolan kuantitas tidak dibutuhkan.

Jumlah anak yang terlalu banyak justeru akan menimbulkan bahaya, ketika kemampuan masyarakat untuk menampung mereka ternyata tidak memadai.

Maka terjadilah perubahan, ukuran-ukuran itu dititikberatkan pada kualitas—apalagi sekarang asupan gizi bagi anak semakin bagus.

Perubahan pemahaman seperti ini membawa pada perumusan baru, “kawinlah, tetapi jangan terlalu banyak anak dan aturlah jumlah keluarga anda”.

Hal tersebut di atas—tentu banyak lagi contoh yang lain—adalah sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang menjadi perdebatan antara kaum tekstualis dan kontekstualis. Boleh jadi persoalan kepemimpinan perempuan juga menjadi ranah yang masih diperdebatkan dalam koridor ini.

Puan Maharani; Pemimpin Perempuan yang Menjanjikan

Sangat relevan ketika Puan berpidato; “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayap seekor burung.

Jika dua sayapnya sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak setinggi-tingginya. Jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali,”

Itu sepenggal pidato Puan Maharani pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-77.

Analogi pidato yang disampaikan Puan, pesan moralnya adalah pentingnya kesadaran tentang kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam peran peran kebangsaan dan kenegaraan.

Puan menegaskan bahwa menyertakan perempuan dalam setiap jabatan bukan sebagai kebijakan afirmatif tetapi merupakan kesadaran atas penghargaan harkat dan martabat manusia.

Sebuah analogi yang sangat relevan tentang kekuatan bangsa dalam konteks kesadaran kesetaraan gender.

Sprit dari pidato Puan di atas bukan sekedar bisa dipahami sebagai wujud ekspresi keterpanggilan Puan untuk tampil dalam gelanggang politik kontestasi pilpres 2024 yang hingga saat ini didominasi oleh tradisi dan cara pandang “patriarkal”, yakni dominasi laki laki.

Dengan kata lain, ruang publik berbangsa dan bernegara adalah ruang profesionalisme dan aktualisasi pengabdian melampaui batas etnisitas, agama dan gender.

Puan dalam peta politik nasional saat ini adalah salah satu kekuatan politik perempuan yang paling menonjol tidak cukup dimaknai hanya upaya untuk memenuhi kewajiban hadirnya representasi pemimpin perempuan melainkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender di ruang publik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia hanya akan maju dan mencapai cita cita kemerdekaan jika peran-peran kebangsaan dan kenegaraan dibangun dalam kesetaraan peran laki laki dan

Kesadaran inilah yang hendak ditekankan Puan dalam pidato politiknya di atas bahwa sudah saatnya cara pandang “patriarkal” dan serba “laki-laki” diakhiri dalam diskursus ruang publik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam sebulan terakhir Puan Maharani, ketua DPR RI, ‘”trah” politik pewaris PDI Perjuangan minimal tiga kali melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh sttuktural Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia.

Yakni pertemuan Puan Maharani dengan Khafifah Indar Parawangsa, Gubernur Jawa Timur sekaligus Ketua Umum Muslimat, badan otonom NU dan KH. Marzuki Mustamar, ketua PWNU Jawa Timur dalam safari politiknya beberapa hari di wilayah Jawa Timur akhir Pebruari 2022 hingga “blusuan” ke desa desa terpencil  di bagian timur pulau Madura, basis kuat warga Nahdlyiiin.

Sebuah safari yang menjanjikan, pertemuan antara kaum Nasionalis dan agamawan demi kemajuan bangsa. Yang dalam definisi berbeda juga dua kepak sayap burung yang akan terbang tinggi membawa kemajuan bangsa.

Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Indramayu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

DBS Indonesia Luncurkan Layanan Pemeriksaan Status Transaksi Lintas Negara

JAKARTA-Lebih dari 4.000 klien korporasi dan usaha kecil dan menengah

Pembangunan IKN, Menkeu: Pemerintah Anggarkan Rp30 Triliun di Tahun 2023

JAKARTA-Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah mengalokasikan anggaran