Risiko Perbankan Bergeser dari Likuiditas ke Kualitas Kredit

Friday 5 Jun 2015, 8 : 46 pm
by

JAKARTA-Tekanan terhadap profitabilitas perbankan masih berlanjut sepanjang kuartal pertama ditahun 2015. Pertumbuhan laba (kumulatif setahun) hanya mencapai 9,4% jauh dibawah periode yang sama tahun lalu yang sebesar 12,8%. Kinerja pertumbuhan laba ini adalah yang terendah pasca krisis global 2008. Tekanan pada profitabilitas perbankan berasal dari penurunan Net Interest Margin (NIM) dan kenaikan biaya kredit yang tercermin dari kenaikan Non Performing Loan (NPL).

Sepanjang kuartal pertama tahun 2015, NIM terus berada pada kisaran 4,2% (dibawah rata-rata 2011-2013 yang sebesar 6,0%). Non-Performing Loan (gross nominal) telah tumbuh sebesar 33,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Akibatnya rasio NPL (terhadap total kredit) meningkat dari 2,16% di akhir tahun 2014 menjadi 2,40%. Rasio coverage (Cadangan Biaya Penghapusan Kredit dibagi dengan NPL) juga telah menurun dari 104,85% menjadi 99,40%. Penurunan rasio coverage telah terjadi sejak tahun 2013 setelah sempat mencapai puncaknya di level 142,83%.

Tergerusnya interest margin perbankan disebabkan kenaikan biaya dana yang lebih besar dari pada kenaikan bunga kredit. Sepanjang satu tahun terakhir, biaya dana (yang diproksikan oleh suku bunga deposito tenor 1 bulan) telah naik sebesar 155 bps. Di sisi lain suku bunga kredit perbankan (yang diproksikan oleh suku bunga kredit modal kerja) hanya meningkat sebesar 94 bps. Dengan demikian spread telah menurun dari 508 bps menjadi 438 bps pada periode yang sama.

Kondisi pelemahan ini terjadi across the board, secara umum seluruh bank mengalami penurunan NIM yang disebabkan kenaikan biaya dana yang lebih tinggi dibandingkan tingkat bunga kredit. Sejak setahun terakhir tekanan dari penurunan kualitas kredit juga terlihat sehingga memaksa bank untuk mengorbankan aspek profitabilitasnya. Rasio nilai NPL belum menunjukkan peningkatan yang signifikan namun masih manageable.

Ke depan terlihat bahwa faktor risiko perbankan akan bergeser dari likuiditas kepada kualitas kredit. Sepanjang kuartal pertama tahun 2015, Dana Pihak Ketiga (DPK) telah tumbuh sebesar 15,2% di atas pertumbuhan kredit sebesar 11,8%. Akibatnya Loan to Deposit Ratio (LDR) mengalami penurunan dari 90,1% di akhir tahun 2014 menjadi 88,7% di akhir kuartal pertama. Perbaikan kondisi likuiditas perbankan juga ditunjukkan oleh relatif stabilnya tingkat bunga pasar simpanan. Suku bunga deposito bank-bank acuan LPS (Suku Bunga Pasar, SBP) sepanjang kuartal pertama 2015 hanya meningkat 11 bps, dibandingkan 17 bps pada periode yang sama tahun lalu. Sejak awal April, SBP bahkan terlihat menurun sebesar 10 bps.

Fenomena pada pasar dana adalah berbeda dengan yang terjadi pada periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan kondisi perekonomian yang kurang kondusif menyebabkan korporasi menekan laju ekspansi (dan permintaan kredit mereka). Disisi lain tingkat bunga yang tinggi menyebabkan meningkatnya daya tarik deposito berjangka sebagai salah satu alternatif investasi.

Kondisi seperti ini (pertumbuhan kredit dibawah DPK) diperkirakan bertahan hingga akhir tahun 2015. Terdapat pola dinamis dimana pertumbuhan kredit akan mengalami akselerasi menjelang akhir semester dan akhir tahun, sehingga risiko likuiditas mungkin meningkat di semester kedua. Meskipun demikian kami melihat akselerasi tersebut kemungkinan berada dibawah level historis. Ada kemungkinan bank-bank akan memanfaatkan kondisi likuiditas yang “relatif” longgar untuk memperbaiki NIM (sebesar 20-30 bps dari level saat ini).

Sebaliknya risiko kredit masih berada pada posisi yang tinggi. Pelemahan prospek ekonomi, tekanan nilai tukar, dan suku bunga yang tinggi telah menyebabkan meningkatnya kesulitan bagi para debitur untuk memenuhi kewajibannya. Kredit yang dikategorikan bermasalah (kolektibilitas 3-5) masih cenderung tinggi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 26,6% sepanjang kuartal pertama 2015. Tingkat pertumbuhan ini jauh di atas pertumbuhan rata-rata kredit kolektibilitas lancar yang sebesar 10,6%. Pertumbuhan kredit kolektibilitas “perbatasan” (kolektibilitas 2) juga cukup tinggi (yakni rata-rata sebesar 23,7%) yang mengindikasikan ancaman kredit macet masih signifikan beberapa periode kedepan.

Sektor-sektor yang semula diperkirakan cukup resilien terhadap penurunan kondisi ekonomi juga menunjukkan pertumbuhan kredit bermasalah. Pertumbuhan kredit bermasalah pada sektor-sektor seperti manufaktur dan perdagangan masing-masing 28,7% dan 37,6%. Di sisi lain pertumbuhan outstanding kredit pada sektor tersebut hanya tumbuh sebesar (masing-masing) 17,5% dan 11,0%. Tidak mengherankan jika dalam kurun waktu satu tahun terakhir rasio NPL bagi sektor-sektor tersebut telah naik pada rentang 213 bps – 218 bps menjadi 215 bps – 329 bps.

Ditengah potensi kenaikan risiko kredit “untungnya” bank memiliki capital buffer yang cukup tinggi. Rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) mengalami kenaikan dari 19,57% di akhir tahun 2014 menjadi 20,98% di kuartal pertama tahun 2015. Kenaikan CAR ini terutama disebabkan konversi akuntansi laba operasi akhir tahun 2014 menjadi komponen modal laba ditahan. Bank-bank tampaknya menyadari bahwa situasi sulit masih harus dihadapi sepanjang tahun 2015 sehingga manajemen umumnya mengambil kebijakan mengurangi setoran dividen.

Rasio permodalan (CAR dan Tier 1 CAR) perbankan Indonesia adalah salah satu yang tertinggi diantara emerging market. Per akhir tahun 2014, rasio CAR dan Tier 1 CAR perbankan Indonesia sebesar 18,7% dan 17,8%, lebih tinggi dibandingkan Brazil, India, Philipina dan Turki. Kondisi perekonomian Indonesia (meskipun menurun) juga secara umum lebih baik dibandingkan negara-negara tersebut.

Diperkirakan risiko kredit sepanjang tahun 2015 masih manageable. Dengan asumsi baseline dimana pertumbuhan ekonomi berada disekitar 5,0% – 5,3%, nilai tukar USD/IDR berada pada kisaran Rp 13.000 – 13.200 dan BI rate pada 7,25% – 7,50% maka rasio NPL diperkirakan berada pada kisaran 2,7% – 3,0%. Rasio ini masih berada dalam comfort zone regulator. Disamping itu dengan tekanan likuiditas yang relative lebih lunak, perbankan diperkirakan dapat mengkompensasi sebagian dampak dari kenaikan biaya kredit sehingga secara keseluruhan diharapkan dapat mencatat pertumbuhan laba di tahun 2015.

Perlu diperhatikan bahwa pergeseran risiko perbankan dari likuiditas kepada kredit disebabkan oleh aspek makro ekonomi. Untuk itu salah satu cara untuk menurunkan risiko kredit adalah dengan memperbaiki kinerja perekonomian. Pemerintah dan otoritas dapat membuat suatu bauran kebijakan: fiskal, moneter dan macroprudential yang sinergis untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Perubahan skema subsidi BBM sebenarnya memberikan ruang bagi kebijakan fiskal yang lebih efektif dengan dampak multiplier yang tinggi melalui belanja modal pemerintah. Pembangunan infrastruktur, peningkatan regulasi serta efektivitas birokrasi akan meningkatkan iklim bisnis yang mendorong pertumbuhan investasi dalam negeri.

Keseimbangan eksternal dapat dicapai dengan menjaga kepercayaan investor. Pembiayaan defisit neraca berjalan dapat bersifat sustained jika dapat disusun rencana jangka menengah panjang untuk meningkatkan porsi industri penghasil devisa dan industri substitusi impor. Insentif fiskal, iklim moneter dan instrument macroprudential dapat diarahkan untuk menstimulasi pertumbuhan industri-industri ini. Rencana tersebut hendaknya memiliki jangka waktu serta dikomunikasikan dengan jelas kepada investor. Mungkin saja terjadi dalam implementasinya, rencana tersebut menyebabkan defisit neraca berjalan justru membesar, tetapi pelaku ekonomi menyadari hal tersebut bersifat sementara. Jika rencana tersebut bisa berjalan, kepercayaan investor diperkirakan tidak akan goyah.

Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Moch Doddy Ariefianto

Dikutip dari Laporan Perekonomian dan Perbankan LPS Bulan Mei 2015

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Pefindo memberikan peringkat idA kepada ERAA, dengan outlook untuk peringkat perusahaan di level 'Stabil'. Peringkat ini berlaku hingga 1 September 2022.

Pefindo Tetapkan Rating JSMR di Level Double A Minus dengan Outlook Stabil

JAKARTA-PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menetapkan peringkat PT Jasa Marga

CPRO Targetkan Total Penjualan di 2022 Sebesar Rp8,5 Triliun

JAKARTA-PT Central Proteina Prima Tbk (CPRO) menargetkan total penjualan di