Sejengkal Dari Istana Jokowi, PT Pertamina Merampas Tanah Ahli Waris

Wednesday 24 Mar 2021, 7 : 29 pm
by
Polisi dan Brimob bersenjata lengkap berkumpul di lokasi sebelum melakukan eksekusi

JAKARTA-Kuasa Hukum Ahli Waris Mangkusasmito Sanjoto, Edi Danggur, S.H., M.M., M.H membantah klaim PT Pertamina melakukan eksekusi di Tanah Pancoran berdasarkan putusan MA dan sertifikat yang mereka punyai.

Sebab faktanya, apa yang dilakukan perusahaan plat merah itu bukan eksekusi melainkan tindakan perampasan tanah bangunan milik ahli waris Mangkusasmito Sanjoto dan warga secara sewenang-wenang serta melawan hukum dengan menggunakan pengawalan Polisi, Brimob dan Ormas Pemuda.

Ironisnya lagi, tindakan perampasan tanah itu dilakukan oleh PT Pertamina yang jaraknya hanya sejengkal dari istana Jokowi.

“Pada tanggal 21 Maret 2021, genap 40 tahun para ahli waris Mangkusasmito Sanjoto dan para warga menempati secara sah lahan seluas 2,8 hektar dan bangunan rumah di Pancoran Buntu II Pasar Minggu Jakarta Selatan. Penempatan oleh ahli waris tersebut dimulai sejak tanggal 21 Maret 1981 sebagai tindak lanjut dari eksekusi atas putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang telah dimenangkan oleh Mangkusasmito Sanjoto yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai Berita Acara Pengosongan dan Penyerahan tahun 1981,” jelas Edi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/3).

Sejak saat itu sampai dengan hari ini ujar Edi, tidak pernah ada Penetapan Sita Eksekusi Ketua PN Jakarta Selatan yang memerintahkan para ahli waris dan warga untuk meninggalkan lokasi tanah dan bangunan rumah di Pancoran Buntu II tersebut.

Namun PT Pertamina dalam berbagai rilis yang mereka sampaikan ke media massa mengatakan bahwa PT Pertamina melakukan eksekusi di Tanah Pancoran berdasarkan putusan MA dan sertifikat yang mereka punyai.

“Terhadap rilis tersebut kami membantahnya dengan tegas. Sebab yang dilakukan PT Pertamina sesungguhnya bukan eksekusi, tetapi tindakan perampasan tanah bangunan milik ahliwaris Mangkusasmito Sanjoto dan warga secara sewenang-wenang dan melawan hukum,” tegasnya.

Dikatakan perampasan tanah/bangunan dan bukan eksekusi, karena kalau eksekusi itu maka harus tunduk pada asas atau prinsip dasar eksekusi yaitu eksekusi hanya dapat dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dengan aturan main, sebagai berikut:

Pertama, PT Pertamina harus mempunyai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memenangkannya dalam perkara Tanah Pancoran.

Kedua, dengan memperlihatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu, PT Pertamina mengajukan permohonan penetapan sita eksekusi kepada Ketua PN Jakarta Selatan.

Ketiga, berdasarkan permohonan tersebut, Ketua PN Jakarta Selatan akan menerbitkan penetapan sita eksekusi.

Keempat, ahli waris Mangkusasmito Sanjoto akan ditegur (aanmaning) untuk mengosongkan lahan/bangunan dan menyerahkan bangunan-bangunan rumah di atas tanah seluas 2,8 hektar di Pancoran itu kepada PT Pertamina.

Kelima, jika ahli waris Mangkusasmito Sanjoto tidak menjalankan teguran itu secara sukarela, maka jurusita PN Jakarta Selatan datang ke lokasi membuat berita acara pengosongan dan menyerahkan lahan tersebut kepada PT Pertamina.

Serangkaian aturan main di atas juga dilakukan oleh Mangkusasmito Sanjoto untuk memasuki lahan 2,8 hektar dan menempati rumah-rumah tersebut pada tahun 1981,dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Pertama, para ahli waris Mangkusasmito Sanjoto mempunyai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu Putusan tingkat PN No.255/1973 G tanggal 7 September 1974, Putusan tingkat banding No.16/1975 PT Perdata tanggal 1 September 1975 dan putusan tingkat kasasi yaitu Putusan MA No. 1675 K/Sip/1975 tanggal 21 Januari 1977.

“Perlu kami tegaskan, bahwa sampai detik ini, belum ada putusan PK dari Mahkamah Agung RI yang membatalkan Putusan PN, PT dan Putusan MA No. 1675 K/Sip/1975 tanggal 21 Januari 1977 tersebut,” terangnya.

Kedua, ada Penetapan Sita Eksekusi dari Ketua PN Jakarta Selatan No.255/1973/G (lama) dan No.136/JS/1980/GL (baru) tanggal 27 Desember 1980.

Ketiga, melalui Surat No.028/1981/JS/136/80/GL tanggal 7 Januari 1981 Ketua PN Jakarta Selatan telah menegur PT Pertamina agar lahan 2,8 hektar dan rumah-rumah di atasnya itu segera dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 24 Januari 1981.

Keempat, PT Pertamina telah mengosongkan tanah seluas 2,8 hektar dan rumah-rumah di atasnya dengan menerbitkan Surat Perintah No.215/I.0820/81-B1 tanggal 11 Februari 1981 agar 4 (empat) orang karyawannya yang menjaga tanah dan rumah-rumah tersebut segera meninggalkan penjagaan pada tanah dan rumah objek sengketa paling lambat tanggal 24 Februari 1981 karena tanah tersebut akan diserahkan kepada Mangkusasmito Sanjoto yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kelima, Jurusita PN Jakarta Selatan kemudian datang ke lokasi untuk secara formal melakukan pengosongan dan penyerahan tanah seluas 2,8 hektar dan rumah-rumah di atasnya kepada Mangkusasmito Sanjoto yang dituangkan dalam Berita Acara Pengosongan dan Penyerahan tanggal 26 Februari 1981 dan tanggal 21 Maret 1981.

Edi menjelaskan, Dewan Direksi dan Dewan Komisaris PT Pertamina sebagai warga negara pilihan di Republik ini, tentu sangat paham aturan eksekusi seperti itu.

Apalagi sebagai perusahaan plat merah yang selalu menggaungkan dirinya sebagai pelopor penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), tentu sangat mudah untuk mendapatkan penetapan sita eksekusi ke PN Jakarta Selatan.

“Jika benar ada putusan Peninjauan Kembali (PK) dari MA yang memenangkan PT Pertamina, dan jika benar ada sertifikat atas nama Pertamina, maka PT Pertamina membawa semua dokumen itu ke Ketua PN Jakarta Selatan untuk dimintakan penetapan sita eksekusi dari Ketua PN Jakarta Selatan,” terangnya.

Asalkan PT Pertamina bisa menunjukkan Penetapan Sita Eksekusi yang ditandatangani oleh Ketua PN Jakarta Selatan, maka tanpa harus ditegur lebih dulu oleh Ketua PN Jakarta Selatan untuk mengosongkan lahan 2,8 hektar dan rumah-rumah di atasnya, para ahliwaris Mangkusasmito Sanjoto dan warga sebagai warga negara yang taat hukum, akan dengan sukarela mengosongkan dan meninggalkan lahan 2,8 hektar dan rumah-rumah di atasnya.

PT Pertamina tentu sadar juga bahwa NKRI ini adalah negara hukum, setidak-tidaknya mempunyai dua arti:

Pertama, segala persoalan dan silang sengketa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Kedua, penegakan hukum itu dilakukan oleh pemegang otoritas di bidang hukum yang sah yaitu pengadilan.

“Tidak bisa PT Pertamina hanya karena merasa diri punya hak atas sebidang tanah dan rumah-rumah di Pancoran Buntu II langsung saja membawa bulldozer yang dikawal Polisi, Brimob bersenjata dan ormas pemuda meratatanahkan rumah-rumah yang ditempati warga,” ulasnya.

Para ahli waris dan warga mempunyai dokumentasi yang sangat lengkap terkait praktek main hakim sendiri oleh PT Pertamina berupa video dan foto.

Semua video dan foto itu berbicara dengan sendirinya tentang apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Bayangkan kalau perusahaan plat merah saja langsung seruduk dengan membawa bulldozer yang terus dikawal oleh polisi dan brimob bersenjata untuk meratatanahkan rumah-rumah yang ditempati warga dalam memperjuangkan haknya.

“Itu justru dilakukan di ibukota negara RI, lalu ke mana warga dan ahli waris harus melaporkan semua kejadian ini? Ini menjadi contoh buruk, karena di ibukota negara saja ada praktek main hakim sendiri hanya bermodalkan kekuasaan dan uang,” tuturnya.

Edi menegaskan Para ahli waris Mangkusasmito Sanjoto dan warga saat ini juga sedang dikriminalisasi oleh PT Pertamina.

Pasalnya, mereka dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan dengan dugaan telah melakukan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa ijin dari yang berhak (Pasal 167 KUHP) dan menggunakan tanah orang lain tanpa hak (Pasal 385 KUHP) yang sudah sampai dalam tahap penyidikan.

“Para ahli waris Mangkusasmito Sanjoto dan warga mempertanyakan: bagaimana mungkin ahli waris dan warga dituduh memasuki pekarangan orang lain tanpa ijin yang berhak atau menggunakan tanah tanpa hak?,” tuturnya dengan nada tanya

Para ahli waris dan warga justru menempati lahan seluas 2,8 hektar dan rumah-rumah di atasnya itu sah secara hukum selama 40 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan berdasarkan eksekusi pengosongan dan penyerahan yang dilakukan oleh Pengadilan.

Bahkan PT Pertamina sendiri sudah mengosongkan lahan itu secara sukarela seperti dalam Surat Perintah No.215/I.0820/81-B1 tanggal 11 Februari 1981 tersebut di atas.

Perlu disampaikan juga bahwa atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh PT Pertamina maka para ahli waris telah mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang terdaftar di bawah Reg.No.1013/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Sel. di PN Jakarta Selatan tanggal 2 Desember 2020.

Sidang pertama telah dimulai tanggal 6 Januari 2021 dan pada tanggal 24 Maret 2021 memasuki agenda jawaban dari PT Pertamina.

Karena itu, tegas Edi, PT Pertamina seharusnya menghargai proses hukum yang sedang berjalan dan tidak melakukan pembuldozeran rumah para ahli waris dan warga secara semena-mena di tengah berlangsungnya sidang.

Apalagi ada klaim bahwa 75% bangunan sudah diratatanahkan atas persetujuan warga.

Itu klaim sepihak sebab hanya ahliwaris yang mempunyai hak atas tanah dan bangunan-bangunan di atas lahan seluas 2,8 hektar tersebut.

“Demi penegakan hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, kiranya para jurnalis media cetak, media online dan media elektronik tetap mengawali jalannya penegakan hukum di Tanah Pancoran tersebut,” tutupnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Bursa Global Wait and See

JAKARTA-Bursa AS kemarin bergerak mixed dan ditutup menguat tipis 0.11%

Survei Indekstat: Elektabilitas Ganjar Pranowo 28,1%

JAKARTA-Lembaga survei Indekstat Indonesia merilis survei opini publik dengan tema