Usulan Perubahan UU KPK Bukan Dari DPR

Tuesday 7 Jul 2015, 5 : 16 pm

JAKARTA-DPR mengakui sampai saat ini belum mengetahui apakah ada surat resmi dari Presiden Jokowi soal pencabutan usulan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sudah mengirimkan draft revisi UU KPK tersebut ke DPR RI dan sudah masuk Prolegnas 2015 – 2019 jangka menengah, bukan prioritas.

Sebab, kalau benar ada surat pencabutan tersebut, berarti tidak ada koordinasi antara Menkumham dengan Kepresidenan. “Baleg DPR belum terima jika ada surat resmi Presiden Jokowi yang mencabut revisi UU KPK itu. Pencabutan pun tak bisa dilakukan secara serta-merta, karena ada mekanismenya yang harus dilakukan. Apalagi, Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya sudah mengirimkan draft revisi dan menyetujui rencana perubahan itu dalam rangka mendukung pemerintahan Jokowi,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Subagyo  pada  ‘Revisi UU KPK’ bersama pakar tindak pidana pencucian keuangan (TPPU) dari Universitas Trisakti Yenti Garnasih dan mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (7/7/2015).

Penempatan RUU tentang perubahan UU No.30 tahun 2002 tentang KPK di urutan 63 itu kata Firman Subagiyo, karena substansi/materi RUU ini sangat terkait dengan RUU tentang KUHP dan KUHAP, sehingga perubahan terhadap UU tentang KPK ini sebaiknya menunggu penyelesaian pembahasan RUU tentang KUHP yang sudah masuk Prolegnas RUU Prioritas tahun 2015.

Dengan demikian menurut Firman, bahwa usulan perubahan terhadap UU KPK tersebut bukan berasal dari DPR RI, karena Baleg tidak pernah menerima usulan dari komisi III DPR maupun anggota DPR RI yang mengusulkan perubahan UU KPK tersebut. “Pada rapat kerja 16 Juni 2015 Baleg hanya menyetujui RUU tambahan Bea Mineral, tapi Menkumham Yasonna laoly bersikeras memasukkan revisi UU KPK dengan alasan pelaksanaan UU ini masih menimbulkan masalah yang menyebabkan terganggunya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi serta dalam upaya membangun negara yang makin bersih sekaligus penguatan terhadap seluruh lembaga terkait dengan penyelesaian kasus korupsi (kepolisian, kejaksaan dan KPK) perlu dilakukan peninjauan terhadap beberapa ketentuan,” ujarnya.

Beberapa ketentuan tersebut terkait kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM, kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan kejaksaan, perlunya dibentuk dewan pengawas, dan lain-lain. Bahwa sejak awal DPR mendorong agar dituntaskan terlebih dahulu revisi UU KHP dan KUHAP. “Jadi, untuk saat ini DPR menunggu sikap pemerintah,” pungkasnya.

Yenti Garnasih menegaskan belum waktunya merevisi UU KPK, dan seharusnya induknya, KUHP dan KUHAP dituntaskan terlebih dahulu. Apalagi terkait penyadapan itu merupakan tindak pidana yang luar biasa, extra ordinary crime. “Bagaimana pun korupsi itu dilakukan lebih dari satu orang dan pemberantasan itu akan sukses kalau ada semangat yang sama antara DPR RI dengan pemerintah dan MK,” tambahnya.

Menurut Yenti, penyadapan itu kewenangan khusus, sehingga tidak perlu alergi dengan penyadapan, sementara badan narkotika, kejaksaan, kepolisian dan lain-lain juga punya kewenangan penyadapan. Justru katanya, dengan kewenangan penyadapan itu KPK akan lebih hati-hati dan profesional dalam menjalankan tugasnya. “Sesuai dengan KUHAP, penyadapan itu tidak masalah sepanjang untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara,” ungkapnya.

Abdullah Hehamahua menilai bahwa korupsi itu terjadi di mana-mana dan pembuktiannya sangat sulit, tapi dampaknya luar biasa, cepat kaya dan pada tahun 2050 Indonesia diprediksi akan bubar, menjadi negara baru, menjadi jajahan super power, dan atau menjadi masyarakat beradab (madani) jika KPK kuat, sehingga Indonesia akan menjadi negara sebagaimana dicita-citakan.

Karena itu kata Abdullah, kalau tanpa penyadapan apa artinya KPK? Melanggar HAM dan menyalahgunakan kewenangan? “Di KPK semua itu ada prosedurnya, ada SOP-nya. Harus izin ke atasannya; deputi dan lain-lain. Hasilnya yang ditranskrip pun hanya yang terkait dengan korupsi, bukan pribadi, dan yang membaca hasil transkrip pun atas perintah jabatan. Tidak semua orang bisa baca. Jadi, yang protes KPK selama ini pasti ada masalah dengan korupsi. Juga dewan pengawas, apa nantinya perlu dewan pengawas Kompolnas?” ujarnya mempertanyakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Laba Bersih INTP Cenderung Flat di Angka Rp1,8 Triliun

JAKARTA-Meski pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan di sepanjang 2020 akibat kondisi

Hadapi Pasar Bebas Asia-Pasifik, Indonesia Optimis

JAKARTA-Indonesia tidak punya pilihan selain siap menghadapi pasar bebas Asia-Pasifik