JAKARTA-Pemerintah dituding menjadi kambing hitam atas melemahnya nilai tukar atau depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Salah satunya, kinerja pembantu Presiden Joko Widodo yang buruk. Namun Ekonom Kepala Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop membela pemerintah.
Menurutnya, anjloknya nilai tukar terhadap dollar AS bukan disebabkan kesalahan pemerintah mengelola ekonomi Indonesia, tapi karena menguatnya dollar AS secara global. “Jadi, penguatan dollar AS terhadap semua mata uang, bukan hanya rupiah,” kata Diop saat peluncuran laporan triwulan ekonomi Indonesia, di Jakarta, Rabu (18/3).
Kurs tengah Bank Indonesia mencatat, rupiah terus menguat sejak Senin (16/3), dari Rp 13.237 menjadi Rp 13.209 (Selasa, 17/3), dan Rp 13.164 (Rabu, 18/3).
Diop mengingatkan, bahwa mata uang dollar AS hingga saat ini belum kembali ke posisi dulu, sehingga masih ada potensi untuk terus menguat.
Terkait dengan pelemahan nilai rupiah itu, dia mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang telah melakukan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di mana di dalamnya dilakukan penghapusan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM).
Menurut Diop, dengan langkah (revisi APBN) itu saat ini belanja modal melebihi dari anggaran yang dialokasikan untuk subsidi energi. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa ruang yang tersedia untuk melakukan belanja masih terbatas. “Akan sulit untuk mencapai belanja modal 2 kali lipat dari 2014 karena hambatan disbursement, ruang fiskal terbatas,” jelas Diop.
Dia memperkirakan, belum akan ada peningkatan besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mengutip laporan Bank Dunia, Diop memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 akan mencapai 5,2%, dan akan melonjak pada 2016 mendatang menjadi 5,6%. Adapun angka defisit anggaran diperkirakan mencapai 3,0% (2015), dan 3,2% (2016). “Untuk jangka pendek, ekonomi Indonesia tumbuh 5,5% atau lebih tinggi akan berat karena kondisi saat ini,” pungkas Diop