“Kalau mau diubah gimana? Bukan MK yang mengubah. Yang mengubah itu DPR, lembaga legislatif. Nah, MK sudah tahu itu,” kata dia.
Selama ini, kata Mahfud, kalau menyangkut open legal policy, atau politik hukum yang sifatnya terbuka, MK bukan menolak gugatan, tetapi tidak menerima. Mahfud juga menegaskan bahwa tidak menerima dan menolak itu beda.
Kalau menolak itu artinya permohonan ditolak.
Sementara, bila tidak menerima, artinya dikembalikan untuk diproses melalui lain atau proses baru.
“Oleh sebab itu, yang terpenting ada dua. Satu kita serahkan masalah itu kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan,” paparnya.
Yang kedua, lanjut dia, supaya MK bersikap profesional, memutus sesuai dengan tugas dan kewenangan MK.
Yaitu sebagai negative legislator, hanya boleh membatalkan aturan perundangan yang menyalahi konstitusi.
“Ia hanya boleh membatalkan (aturan perundangan) kalau salah. Kalau sifanya pilihan tidak boleh diputus oleh MK, itu aturan dasarnya,” tegas Mahfud MD.
Diketahui, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat aturan perundangan soal pembatasan usia minimal capres – cawapres ke MK.
PSI ingin agar aturan batasan usia minimal capres – cawapres diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Selain PSI, sejumlah pihak kemudian ikut menggugat atau mengajukan uji materi atas aturan ini.
Aturan pembatasan usia minimal capres – cawapres ini tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Pasal tersebut berbunyi: “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.