Ditekan Berbagai Arah, Rupiah Masih Akan Melemah

Monday 22 Sep 2014, 4 : 21 pm
by
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah

JAKARTA-Melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah yang menembus batas psikologis sebesar Rp 12.030 per dollar AS pada Kamis (18/9) lalu, sebelum mengalami sedikit penguata pada Jumat (19/9) menjadi Rp 11.985, merupakan imbas dari kebijakan bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed.

Bank Sentral AS ini meneruskan penghentian stimulus moneter dan respon Bank Sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China dalam mempertahanan perekonomian di negara masing-masing.

“Pelemahan nilai tukar mata uang ini merupakan gejala global sebagai imbas keputusan Bank Sentral Amerika Serikat The Fed mengurangi likuiditas global melalui pengurangan sampai pada akhirnya tercapainya program penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai Quantitative Easing (QE) III,” kata Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah di Jakarta, Senin (22/9)

Selain aspek-aspek dalam negeri, dia menjelaskan dua tekanan yang berlawanan arah dipastikan akan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan baik dalam jangka pendek dan menengah terhadap nilai tukar rupiah.

Kedua tekanan itu adalah keputusan The Fed meneruskan quantitative easing (QE) III, dan upaya Bank Sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China untuk mempertahankan dan bahkan menambah likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan tersebut.

“Inilah faktor utama yang menyebabkan pelemaha nilai tukar mata uang di hampir mayoritas emerging-market,” paparnya.

Dia menjelaskan, keputusan The Federal Open Market Committee (FOMC) terkait dengan tahapan pengakhiran QE-III dan pengakhiran suku bunga murah, dengan melakukan pemangkasan pembelian obligasi yang menyisakan 25 miliar dollar AS ini (bulan ini 10 miliar dollar AS, dan pada bulan Oktober sebesar 15 miliar dollar AS) ditambah dengan optimisme perkembangan ekonomi AS, telah mendorong sentimen penguatan mata uang dollar AS terhadap mata uang negara-negara lain termasuk dengan Rupiah.

Di sisi lain, lanjut Firmanzah, ekonomi-ekonomi besar seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang justru mengalami persoalan likuiditas yang mendorong kebijakan menempuh Quantititve Easing.

Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan memberikan pinjaman murah kepada industri perbankan di kawasan Euro dengan nilai sebesar 400 miliar euro (518 miliar dollar AS).

Sedangkan Bank Sentral China mengeluarkan stimulus sebesar 81 miliar dollar AS pada 5 bank BUMN terbesar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi China.

Sementara itu Bank of Japan akan mempertahankan stimulus ekonominya untuk menghindari tekanan deflasi yang lebih dalam.

“Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa prospek perekonomian di ketiga wilayah tersebut masih memerlukan waktu untuk mencapai target-target pemulihan ekonomi seperti yang diharapkan,” ujar Firmanzah.

Karena itu pula, tidak mengherankan jika setidaknya hampir seluruh mata uang di Asia melemah terhadap dollar pada sesi perdagangan minggu ketiga September 2014.

Negara-negara yang mengalami pelemahan nilai tukar itu di antaranya  Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan dan juga Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Sektor Investasi Tak Terpengaruh Aksi Demonstrasi

JAKARTA-Dampak aksi unjuk rasa (unras), alias demonstrasi 22 Mei 2019

Jokowi: Penyaluran KUR Harus Berdampak Signifikan Bagi UMKM

JAKARTA-Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, pemerintah akan meningkatkan anggaran Kredit