JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menyampaikan pandangannya pasca kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,25% di bulan April 2024.
Kenaikan ini sedikit di luar perkiraan pasar, karena dipicu oleh kondisi global yaitu kondisi perekonomian di Amerika Serikat (“AS”) dan ketegangan yang terjadi di Timur Tengah, antara Iran dan Israel.
Meskipun begitu, masih ada peluang yang bisa diambil investor dari pasar obligasi, terutama di obligasi tenor pendek.
Chief Economist & Investment Strategist MAMI mengatakan Katarina Setiawan , ada dua hal yang melatarbelakangi kenaikan BI Rate di pekan ini.
Pertama,kondisi perekonomian di AS, dimana data-data perekonomian AS menunjukkan inflasi yang masih tinggi, pertumbuhan sektor tenaga kerja yang masih solid, dan kuatnya penjualan ritel.
Kesemuanya membuat The Fed harus menunggu sedikit lebih lama, sampai data-data ekonomi benar-benar menunjang pemangkasan suku bunga.
Kedua, adalah kondisi geopolitik di Timur Tengah yang dipicu ketegangan antara Iran dan Israel, yang jika terus tereskalasi, dapat meningkatkan potensi inflasi global lewat kenaikan harga minyak dunia, walaupun memang sampai saat ini kedua belah pihak saling menahan diri
Dua penyebab utama ini yang menyebabkan mata uang Dolar AS menguat terhadap mata uang lain di dunia, termasuk Indonesia.
“Melemahnya Rupiah membuat membuat Bank Indonesia (“BI”) mengambil langkah preemptif dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25%,” ujarnya.
Menurut Katarina, BI memiliki beragam instrumen untuk mengupayakan penguatan nilai tukar rupiah, seperti intervensi langsung di pasar, menghimpun dana melalui SRBI, SVBI dan SUVBI, aktif di pasar non-deliverable forward (“NDF”) dan mengeluarkan kebijakan makro prudensial.
Meredanya tensi politik dalam negeri pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengesahkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres tahun 2024, serta cukup tingginya cadangan devisa Indonesia, membuat BI memiliki modal yang cukup untuk menjaga nilai tukar Rupiah ke depan.
“Pada akhirnya, saat ini menaikkan suku bunga acuan dipandang efektif dan perlu. Untuk tahun ini, suku bunga acuan BI Rate diperkirakan masih di kisaran 5,75% – 6,25%. Adapun untuk nilai rupiah di kisaran Rp15.400 – 16.000 per dolar AS,” kata Katarina.
Katarina melihat kenaikan suku bunga acuan BI Rate ini justru lebih banyak manfaatnya dibandingkan mudaratnya.
“Dampaknya pasti ada, seperti pertumbuhan kredit akan sedikit mengerem, namun sisi positifnya rupiah akan lebih terjaga sehingga angka inflasi juga akan terjaga di level 3,2% – 3,3% hingga akhir tahun. Selain itu, defisit neraca transaksi berjalan (“CAD”) tidak mudah tergerus, dan membuat defisit APBN lebih terjaga. Ini menjadi tindakan yang tepat dari BI untuk lebih forward thinking menghadapi dinamika perekonomian global,” jelasnya.
Saat ini pasar finansial masih cenderung volatil, terutama dalam jangka pendek.
Meskipun begitu, masih ada peluang yang bisa diambil investor di pasar saham ataupun pasar obligasi.
Di pasar saham, manajer investasi dapat memanfaatkan peluang di sektor-sektor yang pendapatannya dalam mata uang dolar AS dan perusahaan dengan utang yang lebih terbatas.
Sementara untuk pasar obligasi, sesudah sebelumnya tergerus karena faktor ketidakpastian The Fed dimana asing sudah banyak yang keluar dari pasar Indonesia, saat ini imbal hasil pasar obligasi sedang mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Investor bisa mencermati peluang di obligasi tenor pendek (2 tahun) yang kenaikan imbal hasilnya paling lebar di antara tenor-tenor lainnya.
Komentari tentang post ini