Doni Monardo Minta DPR Revisi UU Kekarantinaan Kesehatan

Sunday 20 Dec 2020, 7 : 29 pm
by
Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Letjen TNI Doni Monardo

JAKARTA-Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Doni Monardo, meminta DPR RI menjadikan momentum penanganan COVID-19 sebagai pintu masuk untuk revisi Undang-Undang Kekarantinaan.

Hal tersebut disampaikannya saat tampil sebagai pembicara pada peluncuran dan bedah Buku Putih Penanganan Covid-19 di Indonesia, yang disusun Hj Netty Prasetiyani M. Si, Ketua Tim Covid-19 PKS, bersama Tim Covid-19 Fraksi PKS, DPR RI pada Kamis (17/12/20).

Dalam kesempatan itu, Doni menyarankan Fraksi PKS DPR RI mengambil inisiatif untuk mengajukan revisi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

“Inilah moment yang tepat untuk memperbaiki UU Kekarantinan Kesehatan,” tegas Doni.

Doni menambahkan, tahun 2018 saat UU itu disahkan, Pemerintah Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menghadapi pandemi seperti sekarang.

“Mestinya karantina dilakukan secara berjenjang, selektif, dan terukur. Misalnya, karantina tingkat RT, RW atau desa/kelurahan,” ungkapnya.

Doni menjelaskan, bukan karantina wilayah. Sebab akan sulit dilaksanakan. Sementara UU itu mengatur pemberlakukan karantina dengan kompensasi pemerintah mencukupi kebutunan hidup tidak saja warga masyarakat, bahkan termasuk memberi makan hewan peliharaan.

“Sekali lagi, Fraksi PKS melalui Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan bisa memanfaatkan momentum pandemi ini untuk merevisi UU tadi,” imbuhnya.

Doni mengurai, adapun UU Kekarantinaan Kesehatan mengatur empat pilihan karantina. Masing-masing karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.

“Persoalannya, pasal itu belum dilengkapi penjelasan bagaimana upaya pencegahan, termasuk bilamana karantina itu diberlakukan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Doni juga menyitir UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 55 ayat (1). Dalam pasal itu menyebutkan, selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak di wilayah karantina, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

“Tentu menjadi sangat sulit dilaksanakan. Artinya, Undang-undangnya baik tapi sulit diaplikasikan. Untuk itulah perlu revisi,” tegas Doni.

Jadi, kata Doni, dengan pengalaman mengatasi pandemi COVID-19 hampir 10 bulan terakhir, sudah banyak yang bisa dipelajari dan diambil hikmahnya.

“Muaranya, jika kelak kemudian hari terjadi pandemi serupa, akan mempermudah pemerintah pusat dan daerah untuk bekerja lebih baik karena didukung regulasi dan payung hukum dalam melaksanakan tanggungjawabnya,” pungkasnya.

Menurut Doni, hal penting yang harus diakomodir dalam penanganan pandemi diperlukan keterlibatan semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, didukung komponen bangsa lain termasuk TNI/Polri dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah.

Ke depan, lanjut Doni, seluruh komponen tersebut harus bekerja lebih keras untuk dapat menjelaskan tentang bahaya COVID-19 kepada publik. Sebab, masih ada 15 persen masyarakat yang belum percaya bisa tertular COVID-19.

“Ini perlu dilakukan pendekatan dengan melibatkan para tokoh melalui nilai-nilai kearifan lokal di setiap daerah,” tegasnya.

Doni juga menegaskan, Pemerintah harus mendapatkan dukungan dari seluruh komponen masyarakat, termasuk tokoh-tokoh yang ada di daerah. Setiap persoalan yang ada dalam menghadapi dinamika yang ada di daerah tentu tidak terlepas dari peran tokoh-tokoh non formal.

“Kita ke depan harus bisa bekerja lebih keras, untuk bisa menjelaskan bahaya COVID-19 ini kepada publik kepada masyarakat. Karena 15 persen masyarakat kita masih ada yang belum percaya tentang COVID-19,” katanya.

Doni mencontohkan keberhasilan program Citarum Harum, yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh agama, budayawan, akademisi, para pakar, relawan hingga ke ketua RT dan RW.

“Apabila kerjasama seperti Citarum Harum diadopsi dalam penanganan COVID-19, niscaya kita lebih mudah dalam menyelesaikan persoalan pandemi,” ungkapnya.

Doni Munardo juga mengungkapkan, bahwa Pandemi COVID-19 merupakan persoalan kolektif, sehingga penanganannya pun harus saling bekerja sama antarelemen bangsa.

“Dalam urusan penanganan COVID-19, seluruh unsur harus terlibat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh PKS dalam menaruh perhatian besar terhadap upaya untuk memutus mata rantai COVID-19. Perhatian itu, salah satunya dibuktikan dengan pembentukan Tim COVID-19 PKS yang diketuai Dr Netty,” pungkas Doni.

Kebetulan, Doni Monardo mengenal baik Dr Netty. Sebab, saat menggagas dan menggulirkan program Citarum Harum, Doni menjabat Pangdam III/Siliwangi, sementara Dr Netty adalah Ketua Dharma Wanita Pemprov Jawa Barat. Benar, Netty adalah istri Gubernur Jawa Barat dua periode ketika itu: Ahmad Heryawan yang akrab disapa Aher.

Berkat program Citarum Harum, kini sungai yang dulu dijuluki ‘the world’s dirtiest river’, sungai terkotor di dunia. Kini, sungai sepanjang sekitar 290 km itu berangsur-angsur jernir. Ikan-ikan yang dulu punah, kini bermunculan.

Di beberapa anak sungai Citarum, bahkan sudah dipakai berenang anak-anak dan sarana rekreasi keluarga.

“Semoga kerja sama itu bisa kita lanjutkan ya, Bu Netty. Setelah Citarum Harum, sekarang untuk menanggulangi pandemi COVID-19,” kata Doni kepada Netty.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Holding Perbankan Siap Direalisasikan

JAKARTA-Kementerian BUMN tetap berencana membentuk holding perbankan pada 2019 termasuk

Perkuat Bisnis Properti, TINS Setor Sebidang Tanah ke Anak Usaha

JAKARTA-Guna memperkuat lini bisnis di sektor properti, PT Timah (Persero)