Haus Kekuasaan, Ciri Narasi Politik SARA

Friday 2 Nov 2018, 4 : 22 pm

JAKARTA-Elite politik hendaknya tidak lagi mengedepankan komunikasi politik SARA. Apalagi menjelang Pilleg dan Pilpres 2019. Karena hal ini mengancam keutuhan NKRI. “Para aktor politik jangan demi kekuasaan buat narasi politik SARA, karena hal itu mengancam desintegrasi, persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Pengamat politik dari Universitas Mercu Buana (UMB), Maksimus Ramses Lalongkoe dalam diskusi “Kebhinekaan Dalam Bingkai NKRI” bersama Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Ketua FPPP MPR RI Arwani Thomafi di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat (2/11/2018).

Gara-gara narasi politik SARA, kata Dosen FISIP UMB, inilah sehingga membuat Presiden Jokowi mengecam para elit dengan melempar wacana politik Sontoloyo. “Saya kira sangat wajar, Jokowi agak kesal dengan mengeluarkan kata-kata politik sontoloyo,” ujarnya.

Tidak banyak, kata Maksimus, elit politik yang saat ini bersosok negarawan. Padahal untuk merawat Kebhinekaan dan NKRI membutuhkan para negarawan.

Sementara itu Arwani Thomafi menambahkan keberadaan NKRI sudah teruji. Selain resolusi jihad, DI/TII sehingga ulama NU memberi gelar Bung Karno sebagai ‘Waliiyul amri al dharuri bissyaukah, yaitu pemimpin yang harus ditaat’. Terus G30S/PKI, dan terakhir reformasi 98, kita tetap NKRI,” katanya.

Saat ini menurut Waketum PPP itu, rakyat Indonesia menghadapi serangan hoaks di media sosial (medsos) yang juga mengancam NKRI. “Banyak kebenaran semu yang dipahami rakyat. Karena itu saya mendukung ditegakkan hukum, agar hukum menjadi panglima,” jelasnya.

Selain itu dia meminta masyarakat tidak merasa dirinya paling Islam, dan atau paling NKRI melalui praktek-praketk politik menghalalkan segala cara hanya untuk kekuasaan. “Karena hal itu yang bisa merusak komitmen kebhinekaan,” imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menegaskan sejak Indonesia merdeka para pendiri bangsa atau founding fathers, sembilan tokoh ini sudah sepakat untuk mempertahankan NKRI.

Sembilan tokoh itu terdiri dari berbagai agama, suku, ras, partai, dan tokoh masyarakat. Tapi, tetap dalam kebhinnekaan. NKRI ini sudah mengalami banyak ujian. Dari resolusi jihad NU, 22 Oktober 1945 yang melahirkan pertempuran Surabaya 10 November 1945, hingga reformasi 1998.

Padahal, Uni Soviet sebagai negara daratan hancur tanpa peperangan, Yugoslavia juga sama. “Hal itu karena kita punya landasan ideologi dan dasar negara yang kuat, teruji dan terjaga. Maka, tugas pemerintah dan DPR harus membuat kebijakan untuk perkuat NKRI. Demikian juga pers,” ungkapnya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

GE-Saudi Aramco Meluncurkan Global Innovation Challenge

JAKARTA-GE Ecomagination dan Aramco Entrepreneurship meluncurkan sebuah kompetisi teknologi global

342 Pegawai Semen Indonesia Raih Penghargaan

JAKARTA-PT Semen Indonesia (Persero) Tbk memberikan Penghargaan Kesetiaan Kerja (PKK)