“Desakan AS ini juga merupakan upaya mereka untuk menghentikan pembahasan Doha Development Agenda (DDA) yang merupakan kepentingan besar negara berkembang di WTO, khususnya terkait dengan aturan implementasi special and differential treatment (S&DT). Terlebih, jika revisi status negara berkembang dilakukan terhadap Indonesia, maka ini akan berimplikasi terhadap perundingan perjanjian pertanian dan perjanjian subsidi perikanan dimana Indonesia juga punya kepentingan besar terhadap aturan S&DT dalam perjanjian tersebut”, jelas Rachmi.
Oleh karena itu, penting mendudukan persoalan status negara berkembang ini bukan sebagai persoalan tunggal terkait dengan hubungan dagang Indonesia dan AS semata dan kadang dilihat pragmatis jangka pendek, tetapi harus dilihat lebih luas lagi dalam konteks relasi dagang Indonesia dengan negara-negara lain didunia, khususnya di WTO, dalam jangka panjang.
“Untuk itu, dalam KTM WTO ke-12 nanti di Kazakstan, Pemerintah Indonesia harus menolak adanya ketidakadilan dalam perdagangan, khususnya terhadap proposal Reformasi WTO yang diusung oleh AS, termasuk desakan untuk mendorong kepentingan negara maju untuk memasukan isu baru dalam perjanjian plurilateral yang telah mengesampingkan mekanisme konsensus di dalam WTO yang telah berjalan selama ini”, pungkas Rachmi.