Jusuf Kalla, Berhentilah Omong Rasis

Wednesday 16 Jun 2021, 6 : 15 pm
by
pernyataan Arteria Dahlan, bisa jadi signal bahwa masih ada upaya untuk merevisi UU KPK khusus untuk melindungi sekelompok orang yang dikecualikan dari OTT KPK, tidak hanya terhadap APH tetapi juga bisa melebar kepada Anggota DPR dan orang-orang Partai.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPID), Petrus Selestinus

Oleh: Petrus Selestinus

Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK), kembali melontarkan pernyataan yang bermuatan rasis dan diskriminatif, karena mengandung unsur diskriminasi ras dan etnis.

Pernyataan JK telah mengancam persatuan dan merusak kohesivitas sosial, di tengah upaya sekelompok masyarakat yang hendak merusak kohesi sosial masyarakat.

JK memaparkan bahwa, ekonomi umat Islam sedang terpuruk karena di antara 10 orang kaya, hanya 1 yang muslim.

Dari sisi ekonomi apabila ada 10 orang kaya, maka paling tinggi 1 orang muslim.

Tetapi apabila ada 100 orang miskin, setidaknya 90 umat yang miskin.

“Jadi pincang keadaan ekonomi kita,” kata JK.

Pernyataan JK dimaksud disampaikan di depan Menteri BUMN Erick Thohir dalam acara silaturahmi Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang ditayangkan secara virtual, pada Senin 14 Juni  2021 dimuat beberapa media.

Di sini JK lagi lagi memaparkan soal kondisi ekonomi Indonesia yang dianggap sebagai pincang dan terpuruk, berdasarkan preferensi agama dan suku (sara), bahwa ekonomi umat Islam terpuruk karena di antara 10 orang kaya hanya 1 orang muslim yang kaya itu Tionghoa, Konghuchu dan Kristen.

Rasis dan Diskriminatif

Pernyataan JK itu mengingatkan memori publik, ketika selaku Wapres JK berbicara di hadapan peserta Tanwir Muhammadiyah di Ambon, saat menutup Tanwir, pada 24 Februari 2017.

Bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia sudah cukup membahayakan karena perbedaan agama antara yang kaya dan miskin.

Orang-orang kaya adalah warga keturunan yang beragama Konghuchu maupun Kristen.

Sedangkan, orang yang miskin sebagian besar penganut Islam dan ada juga yang Kristen.
Pembedaan seperti ini tidak dibenarkan, karena orang mau kaya atau menjadi miskin, bukan pada soal beda agaman dan sukunya tetapi pada mau bekerja keras dan trampil atau tidak.

Pernyataan JK, jelas provokatif dan berlawanan dengan kewajibannya selaku Warga Negara.

Ia seharusnya tidak boleh membuat narasi yang rasis, diskriminatif dan manipulatif seolah-olah keadaan ekonomi masyarakat yang terpuruk atau pincang, penyebabnya adalah orang-orang kaya beragama Konghuchu, Kristen dan Tionghoa.

JK Mencari Kambing Hitam

Meskipun pernyataan JK itu, dengan dalil, memotivasi agar persoalan kesenjangan teratasi dengan cara mendorong umat Islam untuk menjadi pengusaha, tetapi pernyataan JK itu sudah masuk dalam kategori tindakan diskriminasi Ras dan Etnis, yang dilarang oleh UU.

Pernyataan JK, terkesan menunjukan kebencian kepada kelompok lain.

Karena perbedaan Ras dan Etnis, dengan cara melontarkan kata-kata rasis di tempat umum atau tempat lainnya sehingga muda didengar orang lain.

Pernyataan yang demikian, dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana sesuai  pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Padahal selama -/+ 20 tahun JK duduk dalam pemerintahan, JK seharusnya tahu sebab-sebab kegagalan pemerintah  mewujudkan pemerataan, memperkecil kesenjangan, dll.

Namun JK justru mencari kambing hitam menyalahkan kelompok lain yang dengan kerja keras, kompeten, mencapai sukses atas keringat sendiri, tidak atas dasar perbedaan agama, suku dan golongan.

Dekat Dengan Tionghoa

Meskipun selama ini JK melontarkan sindiran tentang keberhasilan ekonomi sekelompok warga masyarakat keturunan (Tiongjoa, Konghuchu, Kristen), namun JK selalu berdalil bahwa dia sangat dekat dengan pengusaha keturunan Tionghoa di Makasar.

Bahkan, sahabatnya, Sofjan Wanandi juga keturunan Tionghoa dan Kristen yang pagi, siang, sore, malam selalu bersama JK.

JK seharusnya memahami bahwa “Adanya Diskriminasi Ras dan Etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antrar warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.

Karena itu JK sebaiknya berhentilah membuat narasi yang berpotenai merusak kohesivitas soal masyarakat yang pada gilirannya akan menyulitkna upaya pemerintah merawat kebhinekaan dan menjaga kohesi sosial dalam masyarakat yang berangam.

Penulis adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Advokat PERADI di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Gadaikan BB Palsu Pasutri Dibekuk Polisi

SURABAYA- Kepolisian sektor Tambaksari Surabaya berhasil meringkus pasangan suami istri

Produk Digital Bank DKI Jadi Pilihan Milenial Jakarta

JAKARTA-Bank DKI berhasil meraih Penghargaan Indonesia’s Most Popular Digital Financial