Oleh: Uchok Sky Khadafi
Kini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terancam untuk dibubarkan. Wacana ini muncul karena beberapa kasus yang tejadi belakangan ini, tidak bisa ditangani.
Kasus-kasus babon tersebut, seperti skandal Jiwasraya, Bank Bukopin hingga ASABRI yang membuat muak dan meminta OJK dibubarkan.
Munculnya skandal kasus seperti diatas, memperlihat bahwa OJK sejak berdiri, memang tidak ada manfaat apapun yang dirasakan oleh industri keuangan.
OJK selama ini hanya bisa memunggut iuran yang begitu besar dari industri keuangan.
Pada tahun 2018, OJK mendapat iuran sebesar Rp 4.9 Triliun dan pada tahun 2019 sebesar Rp 5 Triliun. Apalagi bila menilai kinerja OJK, tidak bagus bagus amat.
Coba baca cerita audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan salah satu permasalahan OJK dalam hal pengawasan.
OJK divonis lalai menjalankan tugasnya, khususnya pengawasan terhadap tujuh bank.
Kelalaian OJK itu terkait penggunaan fasilitas modal kerja debitur, hapus buku kredit, hingga rekomendasi untuk melakukan koreksi pada kinerja keuangannya.
Ogah-ogahan
OJK boleh masa bodoh atau ogah-ogahan dalam mengawasi 7 Bank yang diambang pintu kebangkrutan. Tapi anehnya, OJK tidak pernah lalai atau masa bodoh ketika meminta gedung kantor yang serba mewah dan Lux.
Nilai rupiahnya tidak tanggung tangung, bukan dalam bulatan puluhan miliar. Tapi, bisa mencapai ratusan miliar hanya buat sewa kantor OJK.
Padahal DPR sudah meminta OJK jangan lagi menyewa kantor. Hal ini sesuai dengan hasil rapat kerja yang ke 5 antara Dewan Komisioner OJK dengan Komisi XI DPR RI tertanggal 26 September 2013.
Komentari tentang post ini