“Perbedaan yang kita dapat dengan yang digondol Freeport ke luar bagai bumi dan langit,” tandas dia.
Seharusnya kehadiran Freeport di sana bisa menciptakan kemakmuran bagi masyarakat sekitar.
Dia yang sejak kecil tinggal di Papua tidak merasakan manfaat sama sekali dari adanya Freeport.
“Tidak ada reboisasi dati hutan yang dibabat, yang ada limbah Freeport di mana-mana. Bahkan tidak ada pengusaha Papua yang direkrut atau dijadikan mitra oleh Freeport,” kecam Bahlil.
Ia meminta pemerintah untuk mengevaluasi kehadiran Freeport di sana.
Bahlil pun mencontohkan perusahaan minyak AS yang bercokol di Arab Saudi.
Di sana, awalnya kepemilikan saham AS mayoritas tapi ketika ada proses perpanjangan kontrak selalu mengurangi kepemilikan saham AS. Sehingga saat ini menjadi minoritas.
“Seharusnya hal itu terjadi dengan Freeport, Inalum, bahkan Newmont. Pemerintah harus tegas. Kita bukannya anti asing seperti Venezuela atau Bolivia yang melakukan nasionalisasi. Tapi ketegasan pemerintah sangat penting,” jelasnya.
Menurut dia, pada 2021 nanti kontrak Freeport sudah selesai. Sehingga tidak perlu lagi ada yang namanya perpanjangan.
“Tambang Freeport harus dikembalikan ke pangkuan bangsa dan negara,” tutup Bahlil. (TMY)