JAKARTA-Untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih, maka diperlukan sinergi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan. Pasalnya saat ini lembaga penegak hukum punya Undang-Undang masing-masing. Sehingga banyak celah atau ruang yang bisa menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Ketua Fraksi Hanura di MPR RI Syarifuddin Suding menyatakan hal itu kepada wartawan, di kompleks DPR/MPR Senayan, Jakarta, Senin ( 18/5/2015 ).
“ Kami di Komisi III DPR RI, memang tengah berpikir merevisi tiga Undang-Undang,” katanya.
Adapun tiga UU itu, antara lain UU No. 32 tahun 2012 tentang KPK, UU No.22 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, agar ketiga lembaga penegak hukum itu saling bersinergi atau bila perlu menjadi satu atap.
Menurut Syarifuddin, saat ini masih terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan atau abuse of power. Dalam penyelidikan dan penyidikan pada Kepolisian, ada asumsi ditengah-tengah masyarakat sering terjadi “pengaruh” dari mereka yang terlibat dalam proses hukum, termasuk dalam penetapan pasal-pasal yang ditetapkan,” ungkapnya.
Dalam kasus Narkoba misalnya, kata anggota Fraksi Partai Golkar, seakan bisa “dipilih”, apakah sebagai pengguna (pemakai), pengedar dan bandar. Sebab, ancaman hukuman dalam ketiga kategori ini sangat berbeda. “Asumsi yang sama juga dialamatkan bagi lembaga Kejaksaan bahkan Pengadilan,” tuturnya.
Semestinya, kata Suding, sebagai penegak hukum, baik KPK, Polri dan Kejagung harus independen, tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun, termasuk intervensi dari Presiden.
Menurutnya, meski tidak bebas nilai, namun hukum itu juga produk politik termasuk KPK, sehingga dengan kewenangan yang besar bisa saja disalahgunakan.
Karena itu perlunya revisi bagi ketiga UU lembaga penegak hukum tersebut agar ke depan terjadi sinergi dan bukannya saling melemahkan.
Bisa melalui pembagian tugas dan kewenangan. Seperti KPK hanya menangani korupsi penegak hukum dan penyelenggara negara di atas Rp 1 miliar, atau kasus korupsi yang melibatkan pejabat eselon satu dan dua ke atas.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin membenarkan bahwa kegaduhan hukum memang tak bisa dihindari karena tidak ada jaminan kepastian hukum terhadap kinerja kedua lembaga penegak hukum, yakni KPK dan Polri yang sama-sama bergerak sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing.
Bahkan ironisnya, bisa hanya sekedar pencitraan, popularitas atau ada yang merasa lebih kuat.
Pihak Kepolisian, misalnya, sebagai penegak hukum yang eksklusif sesungguhnya sudah diatur dalam pasal 34 UU NRI 1945 termasuk kewenangan penyidikan dan penyelidikan. Tapi, kewenangan itu kini dimiliki pula oleh KPK. Karena itu, pemerintah dan DPR RI harus melakukan rekonstruksi lembaga penegak hukum.
“Rekonstruksi lembaga penegak hukum ini untuk membangun sistem dalam mencegah korupsi, tanpa menimbulkan kegaduhan hukum dan politik, karena sistem pemberantasan korupsi itu sendiri belum selesai, dan rekonstruksi itu bisa dimulai dari pimpinan Parpol agar tak muncul kegaduhan yang tidak perlu.
Memang, kata Putra Sidin, intervensi Presiden RI diperbolehkan asalkan ada alasan hukum yang jelas, bukan karena alasan politik.
“ Intervensi Presiden, untuk menangkap seseorang, karena dikhawatirkan bisa melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, boleh-boleh saja. Sama dengan anggota masyarakat yang menyuruh tangkap seorang pencuri yang sedang dilihatnya ” ujar Irman Putra Sidin seakan memberi contoh.
Namun demikian , tambah Irman, delik tindak pidana korupsi (Tipikor) itu harus diperbaiki dan diperjelas karena pasal delik ini sering disalahgunakan oleh penegak hukum sendiri.
Dia mendukung KPK, Polri dan Kejaksaan tetap di bawah Presiden RI, agar kalau ada konflik , Presiden RI, sebagai Kepala negara bisa secepatnya mengambil keputusan. (cea)