Mayoritas Parpol Tak Usung Toleransi dan Keberagaman

Jumat 1 Mar 2019, 6 : 43 pm

JAKARTA-Munculnya issu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) akhir-akhir ini bukan karena masalah kesenjangan ekonomi semata. Namun juga karena faktor buruknya kelembagaan politik yang ada. “Tidak ada lagi partai politik yang mengusung soal issu menjaga toleransi, keberagaman dan meredam isu sara,” kata Manager Riset dan Program The Indonesia Institute (TII), Yossa Nainggolan dalam diskusi ‘Isu SARA dalam Pilpres Hancurkan kebhinekaan’ bersama anggota MPR Fraksi PPP, Syaifullah Tamliha di Jakarta, Jumat (1/3/2019).

Dari penelitiannya, kata Yossa, hanya ada satu partai politik yang platformnya menjaga toleransi. Dari 16 partai politik yang bertarung pada Pilpres 2019, hanya 8 partai yang bicara mengenai hak azasi manusi. “Jadi hanya satu parpol yang secara spesifik bicara soal keragaman dan toleransi,” tambahnya.

Padahal, lanjut Yossa, keberadaan parpol sangat penting. Karena hanya parpollah yang bisa menjaga agar issu SARA tak mencuat. “Apalagi pendidikan politik makin berkurang, sehingga orang menjadi tidak sadar terjadi pembelahan masyarakat,” paparnya.

Meskipun sudah ada komitmen yang cukup dari elit politik bahwa tidak perlu ada kampanye hitam, sambung Yossa, kenyataannya pada tingkat grass root atau akar rumput masih terjadi. Seolah-olah ada gap antara elit politik dengan grass root. Sehingga issu SARA ini tak bisa terselesaikan,” ucapnya.

Sementara itu, anggota MPR F-PPP Syaifullah Tamliha mengakui Indonesia yang multi etnis, agama dan aliran ini sangat rawan terjadi perpecahan. Bahkan perpecahan yang cenderung mengarah pada adu fisik.

Padahal, kata Syaifullah, Pilpres 2019 yang akan berlangsung di Indonesia ini bukan perbedaan agama. Tapi perbedaan politik aliran agama. “Seolah-olah Jokowi dari Kyai Ma’ruf itu adalah orang yang NU dan terkesan Prabowo-Sandiaga Uno itu Muhammadiyah, itulah yang saya lihat di media-media sosial yang bergentayangan tiap hari,” paparnya.

Menurut Syaifullah, issu-issu agama ini bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama aliran agama. Padahal dulu sudah tidak lagi, namun sekarang mulai eforia dan berkembang lagi. “Ini artinya, mempersempit diri. Apalagi akibat Pilpres ini semua mengeskploitasi diri,” ungkapnya.

Lebih jauh katanya, Indonesia inikan terdiri dari 700 suku dan bahasa. Ini berdasarkan penelitian Bank Dunia, bahwa sebuah negara yang memiliki multi etnis, itu memerlukan presiden yang kuat. “Namun soal kuat ini tafsirnya berbeda-beda. Apakah kalau Prabowo seorang militer itu, kemudian ditafsirkan kuat. Karena saya baca dari Pak Luhut Binsar Panjaitan bahwa Jokowi itu lebih hebat daripada Komandan Kopassus, jadi yang kuat seperti apa,” ucapnya lagi.

Komentar

Your email address will not be published.

Don't Miss

Ardy Susanto: PKB Rumah Besar Kebangsaan Seluruh Rakyat Indonesia

JAKARTA-Komitmen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk merawat semangat kebangsaan tidak

Bank DBS Indonesia Raih Juru Bicara Terbaik

JAKARTA-Bank DBS Indonesia meraih penghargaan sebagai Juru Bicara Terbaik dalam