Menakar Strategi Bongbong Yang Dijiplak Prabowo

Tuesday 28 Nov 2023, 5 : 14 pm
by
karikatur majalah tempo

Oleh: Hariadhi

Setelah sebelumnya membahas soal terbukanya peluang untuk mengalahkan strategi Bongbong yang tampaknya memang dijiplak oleh Prabowo, kali ini saya akan mencoba memberikan analisa lebih mendalam tentang mengapa Bongbong Marcos sulit dikalahkan di Filipina, mengapa Prabowo tidak bisa sepenuhnya meniru strategi tersebut, dan apa cara yang lebih tepat untuk bisa mengalahkan Prabowo, jika diasumsikan Prabowo memang meniru strategi Bongbong.

Setelah membaca beberapa riset, terutama dari paper yang dibuat oleh Alen Hicken, Anil Menon, dan Ronald Holmes dengan judul Continuity, History, and Identity: Why Bongbong Marcos Won The 2022 Philippine Presidential Election, kita bisa menarik kesimpulan.

Di paper ini, asumsi selama ini bahwa Bongbong menang karena kurangnya edukasi mengenai kekejaman era Marcos Sr kepada generasi pemilih pemula alias Gen Z diuji.

Dari hasil riset tersebut, ternyata tidak ditemukan korelasi antara kurangnya pengetahuan atas kediktatoran era Marcos Sr dan bahaya politik dinasti dengan pilihan pemilik suara.

Justru semakin banyak mereka mengetahui sejarah politik Filipina di era 1980an, semakin besar mereka mengetahui adanya politik dinasti di pihak Bongbong, makin besar pula kemungkinan mereka memilih.

Hal ini diuji lagi dengan melihat korelasi tingkat pendidikan pemilih.

Kesimpulannya persis sama, juga tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang telah dilalui pemilih sepanjang umurnya.

Justru mereka yang kurang terdidik, malah tidak terlalu ingin memilih Bongbong.

Variabel umur pemilih yang dianggap juga menjadi kambing hitam atas kemenangan Bongbong, juga diuji.

Dan hasilnya sama-sama mengejutkan, tidak ada relevansi antara usia pemilih dengan kecenderungan pilihan.

Generasi lebih tua yang mengalami langsung era kediktatoran Marcos pun sama saja, tidak merasa memilih Bongbong sebagai keputusan keliru.

Lalu apa yang lebih mempengaruhi preferensi mereka?

Pertama, dan yang seperti terjadi juga di Indonesia, adalah kepuasaan yang sangat tinggi terhadap Rodrigo Duterte, presiden sebelumnya, yang anaknya juga persis sama seperti Gibran, mantan walikota Davao dan menjadi wakil dari Bongbong.

Approval rating Jokowi mirip dengan Duterte, yang bergerak di kisaran angka 60-80an persen.

Kedua, politik identitas.

Namun agak berbeda dengan situsasi Pilkada DKI 2017, politik identitas di sini bukanlah urusan agama, namun penguasaan bahasa.

Jurus agama sudah dicoba oleh pendukung Leni, dengan kampanye oleh gereja untuk menentang kembalinya Dinasti Marcos, yang terbukti tidak membuahkan hasil apapun.

Lebih detail, Bongbong dan Duterte berasal dari dua etnis berbeda yang menguasai penggunaan bahasa paling mayoritas, Ilocano dari daerah Ilocos untuk Bongbong dan Cebuano dan Tagalog di daerah Davao yang diwakili oleh Sara Duterte.

Hal ini membuat pemilih merasa lebih dekat dengan pasangan calon ini dan cenderung memilih mereka, ketimbang pesaing terdekatnya, Leni Robredo, yang hanya mewakili penggunaan Bahasa Bicolano, dari daerah Bicol, yang merupakan Bahasa paling minoritas di antara seluruh Bahasa yang digunakan di Filipina.

Ini yang mungkin menjadi jawaban mengapa saat kita beursaha menyerang Prabowo dengan isu politik dinasti, tidak memperlihatkan hasil berarti terhadap elektabilitas Prabowo dan Ganjar.

Justru kemudian menurut survei, Anies yang lebih diuntungkan dengan adanya sedikit kenaikan suara.

Kita bisa mngintip Kembali penelitian SMRC beberapa bulan lalu, yang menyatakan bahwa memang keterpilihan Anies banyak dipengaruhi oleh ketidakpuasan atas Jokowi.

Anies dan Nasdem mulai menjadi rising star saat kondisi ekonomi dan politik agak morat-marit pada akhir masa pandemi.

Saat kondisi ekonomi pasca pandemi membaik, keterpilihan Anies kembali turun.

Sementara Ganjar dan PDIP., yang baru belakangan mulai mengambil sikap berseberangan dengan Jokowi, masih belum dianggap pemilih sebagai alternatif oleh pemilih yang tidak menyukai Jokowi.

Dari beberapa catatan lain, serangan masif terhadap Bongbong dan Dinasti Marcos justru memperlihatkan reaksi negatif dari pemilih pemula.

Sikap antipati dan kemarahan terhadap golongan progresif yang aktif mengkampanyekan Leni dengan menyerang pendukung Bongbong yang tidak memperlihatkan reaksi emosional serupa saat diserang, mengulangi kasus Cancel Culture di Amerika Serikat yang juga menjadi penyebab kekalahan Hillary.

Lalu apakah sesuram itu peluang Ganjar?

Tidak juga, kalau sekali lagi kita jeli melihat perbedaan mendasar antara Prabowo-Gibran dengan pasangan Bongbong-Duterte.

Pertama, Bongbong membangun kemenangannya melalui konsistensi selama puluhan tahun. Karakter tenang dan kharismatiknya tidak muncul instan seperti layaknya upaya branding gemoy dan santuy Prabowo.

Prabowo lebih mudah untuk diserang karena kita tinggal menunjukkan inkonsistensi ucapan dan tindakan Prabowo, sehingga menggerus trust pemilih atas kampanye yang sedang dibangun.

Selain itu, banyak momen blunder yang memperlihatkan bahwa sikap emosional Prabowo masih tersisa dan sulit ditutupi.

Kedua, mesin politik di Filipina bergantung kepada partai, sehingga geraknya lebih patuh, masif, dan terstruktur.

Di Indonesia, relawan dan buzzer lebih banyak bergerak, dengan improvisasinya masing-masing.

Walaupun kampanye Prabowo terlihat tenang dan santung, perilaku pendukungnya di akar rumput tidak memperlihatkan hal yang serupa.

Sikap kasar dan senang mengadu domba dari pendukung Prabowo inilah yang perlu lebih sering diperlihatkan kepada public.

Ketiga, seluruh pasangan yang ada saat ini lebih banyak mewakili suku dan Bahasa mayoritas, Jawa. Prabowo mungkin sedikit diuntungkan dengan campuran darah Manado, namun peristiwa pengeroyokan demonstran damai Palestina di Bitung, yang berasal dari kelompok garis keras pendukung Israel, Manguni, membuat klaim keturunan Manado menjadi sulit dilakukan Prabowo, karena justru akan berefek negatif.

Lalu bagaimana memanfaatkan keterwakilan bahasa menjadi peluang dalam pemilu kali ini? Tidak perlu dengan cara kasar seperti Pilkada DKI.

Perlu digaris bawahi Kembali bahwa peran relawan di Indonesia lebih besar ketimbang demokrasi di Filipina.

Relawan Ganjar mewakili banyak sekali suku dan bahasa di Indonesia.

Mereka bisa bekerjasama menerjemahkan pesan-pesan positif Ganjar menjadi lebih localized dan akrab dengan budaya setempat.

Selain itu, Ganjar dan Mahud dengan staminanya yang lebih baik, bisa mengunjungi dan merangkul banyak sekali daerah dan suku di Indonesia.

Ini perlu diamplifikasi dengan penggunaan campuran bahasa daerah setempat dalam pidato kampanyenya.

Penggunaan turunan budaya lain, seperti tarian, lagu dearah, hingga baju yang digunakan, juga bisa lebih mengakrabkan para pemilh dengan penyampaian visi misi dan program Ganjar Mahfud.

Apakah bisa dipastikan cara ini pasti akan memenangkan Ganjar?

Opini ini didasarkan kepada riset yang masih minim terhadap pemilihan presiden Filipina, jadi tetap ada peluang tidak berhasil.

Namun jika kita tetap memilih cara menyerang politik dinasti, lebih besar lagi kemungkinannya kita akan mengulangi sejarah kekalahan Leni di Filipina dan Hillary di Amerika Serikat.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Mengagumkan, Lima Wisata Bawah Laut Indonesia

Butuh refreshing ke tempat yang menyegarkan dan bikin rileks? Liburan

Presiden: Pemerkosa Brutal di Bengkulu Dihukum Berat

JAKARTA-Presiden Joko Widodo menginstruksikan  agar pelaku pemerkosaan brutal yang disertai