Menyoal Revisi UU Bank Indonesia

Monday 7 Sep 2020, 11 : 37 pm
by
Ketua Banggar DPR RI, MH Said Abdullah

Untuk membantu pembiayaan pembangunan yang dijalankan pemerintah, saya kira draf revisi UU No 23 tahun 1999 pada perubahan ayat 1 sampai 3 pasal 56 draf revisi UU No 23 tahun 1999, yakni dengan memasukkan keterlibatan BI dalam pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.

Kedua: memasukkan praktik skema burden sharing yang telah dilaksanakan oleh BI dan pemerintah ini adalah revisi UU BI. Saya kira poin ini penting untuk ditambahkan dalam revisi UU No 23 tahun 1999, dan hal itu telah tercemin dalam penambahan di ayat 4 dan 5 pasal 55 draf revisi UU No 23 tahun 1999.

Ketiga: Pada pasal 58A yang merupakan pasal tambahan yang dituangkan dalam Undang Undang 3 tahun 2004 tentang Perubahan UU No 23 tahun 1999 menambahkan Badan Supervisi BI.

Sayangnya ketentuan tentang Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) memiliki tugas hanya membantu pengawasan yang dilakukan oleh DPR. Kewenangannya hanya memberikan laporan kepada DPR.

Saya lebih sepakat menguatkan kewenangan BSBI bukan sekedar alat bantu DPR. Penguatan kewenangan BSBI ini diperlukan selayaknya lembaga pengawas lembaga tinggi negara lainnya.

Kita perlu mencotoh kewenangan Dewan Pengawas KPK. BSBI adalah bagian dari satu kesatuan dari organisasi BI yang kedudukannya mengawasi Dewan Gubernur BI dan kinerjanya.

BSBI juga perlu diberikan kewenangan untuk memutus perkara etik yang melibatkan jajaran pegawai BI.

Keempat; kita perlu memikirkan agar BI berperan bisa lebih dalam pada sektor riil, khususnya UMKM. Sebab UMKM ini adalah wajah dari ekonomi kita.

Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita lebih dari 60 persen. Terlalu besar kalau hanya semata di urus oleh pemerintah melalui sisi fiskal. Melalui kewenangannya saat ini, BI memiliki instrumen untuk ikut mengatur pada sektor keuangan, yakni melalui kebijakan suku bunga acuan, intervensi ke pasar spot, penetapan Giro Wajib Minuman (GWM), dll.

Namun seluruh kewenangan yang dimiliki BI itu dipergunakan untuk kepentingan dua hal, yakni stabilitas nilai tukar dan pengendalian inflasi.

Saya terpikir memasukkan satu hal lagi sebagai dasar acuan BI menggunakan kewenangannya, yakni penguatan sektor riil, khususnya UMKM.

Mengacu poin poin yang saya kemukakan diatas, sesungguhnya bukan hanya UU No 23 tahun 1999 yang perlu di revisi, akan tetapi juga UU No 21 tahun 2011 tentang OJK. Pada sisi UU No 21 tahun 2011 ini perlu menambahkan pengaturan tentang Badan Pengawas OJK.

Satu hal lagi kebutuhan hukum kita terkait sektor keungan ini adalah peran proaktif dan antisipasif dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), khususnya peran early intervention, termasuk dengan penempatan dana.

Sebab bila mengacu pada UU No 4 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) lebih banyak sebagai pemadam kebakaran dari bank gagal.

Mengingat banyaknya kebutuhan perubahan beberapa undang-undang ini, maka pola yang pas adalah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu menyangkut revisi ketiga undang undang tersebut.

Dengan begitu prosesnya lebih cepat dan segera bisa menjadi kebutuhan hukum untuk mengantisipasi berbagai kejadian kedepan.

Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR yang Juga Ketua DPP PDI Perjuangan, Bidang Perekonomian

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Puan:  Ganjar-Mahfud Menang, Indonesia Unggul

Di usia yang sudah lebih dari setengah abad ini, PPP

IGJ: Urusan TPP, Presiden Harus Libatkan Rakyat

JAKARTA-Indonesia for Global Justice (IGJ) meminta agar Tim Khusus Pengkaji